16 Desember 2016

Dilema Guru Profesional, Sudah Sertifikasi Tapi Kinerja Tetap

Menurut UU RI No 14 Tahun 2005  dalam Depdiknas 2004, Sertifikasi Pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru dan dosen sebagai tenaga professional. Bukti formal ini diberikan oleh lembaga pengelola sertifikasi, yaitu Universitas yang menjadi mitra pemerintah. Sertifikasi ini ada dua jenis, yaitu sertifikasi bagi guru yang sudah menjabat (PNS), Guru Tetap Yayasan  (GTY) dan Guru Non PNS  yang diangkat oleh pejabat yang berwenang ( Gubernur, Walikota dan Bupati), dengan mengikuti Pendidikan dan Pelatihan Profesi Guru (PLPG) selama beberapa hari. Dengan mengikuti rangkaian kegiatan selama beberapa hari dan lulus seleksi maka peserta PLPG mendapatkan setifikat, berhak mendapatkan tunjangan sertifikasi guru. 
Demikian halnya dengan Pendidikan Profesi Guru Berasrama, dimana pendidikan ini selama  satu tahun, yang terdiri dari kegiatan workshop pembuatan perangkat pembelajaran dan praktek lapangan di sekolah mitra sesuai dengan Kurikulum yang berlaku. 
Guru SM-3T dengan siswa/i di SMA N 1 Ilwaki, Kabupaten Maluku Barat Daya
Saya sebagai peserta PPG SM-3T selama mengajar di daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal) menemukan suatu masalah mengenai kinerja guru yang sudah sertifikasi, dalam arti sudah professional. Penempatan SM-3T saya yaitu di Kabupaten Maluku Barat Daya, Mengemban tugas di SMA Negeri 1 Ilwaki Wetar. Selama tugas satu tahun, faktanya ada beberapa guru senior yang sudah sertifikasi, kinerja dan kompetensinya justru tetap. Malah jauh beda dari para guru muda. Apalagi di daerah 3T sistem pengawasan yang kurang baik dari Dinas Pendidikan setempat, membuat kinerja Guru professional tadi menjadi tambah bobrok. Setidaknya realita di tempat saya mengabdi ini merupakan salah satu contoh dari beberapa daerah yang kinerja guru professionalnya tidak seimbang dengan tunjangan kesejahteraannya. 

Saat ini saya dapat kesempatan mengikuti Beasiswa Pendidikan Profesi Guru  Berasrama, selama mengikuti kegiatan ini, perhatian pemerintah begitu besar terhadap Peningkatan Kinerja dan professional seorang guru. Mengikuti PPG ini, semua biaya hidup ditanggung oleh pemerintah, mulai dari Akomodasi, Transportasi, Uang Saku dan Uang Buku. Selama PPG berlangsung peserta dibekali Pendidikan Berasrama, Pelatihan Jurnalisti, KMD Pramuka, Public Speaking, Pekan Olah Raga, Latihan Kepemimpinan  dan Pensi. Semua kegiatan ini telah dirancang khusus oleh pengelola. Sehingga jelas  output dari PPG ini adalah Guru Profesional. Dan yang mendapatkan kesempatan ini adalah para Sarjana yang sudah lulus tes SM-3T dan mengabdi di daerah 3T selama satu tahun. Setelah lulus PPG, maka pemerintah mengusahakan supaya merekrut kembali para lulusan PPG SM-3T ini menjadi Guru Garis Depan, dimana GGD ini adalah guru tetap di Daerah 3T. Suatu terobosan Revolusi Mental yang dicanangkan Presiden Jokowi, bagi daerah Terdepan, Tertinggal, dan Terluar dengan membangun dari wilayah terluar Indonesia. GGD ini menjadi motor penggerak para alumni PPG supaya berkarya di daerah. Oleh sebab itu dituntut jiwa detil dan serius bagi para guru mempunyai karakter guru Profesional

Cukup menggelitik di benak saya, sewaktu ada acara kegiatan Jurnalistik selama mengikuti PPG Berasrama di Universitas Negeri Padang. Dimana dalam sambutannya ketua pengelola Sertifikasi PPG UNP Prof. Agustina, M.Hum menyatakan bahwa Program Pendidikan Profesi Guru ini sedang dipertanyakan kompetensinya oleh Pemerintah. Yaitu adanya indikasi para guru yang sudah disertifikasi namun kinerjanya tetap, bahkan sama dengan guru yang belum sertifikasi.

Hal ini sangat disayangkan, sebenarnya apa yang salah dengan system sertifikasi guru? Jika seorang guru dinyatakan professional oleh lembaga pengelola sertifikasi melalui rangkaian kegiata beberapa hari, biasa saja para calon guru professional ini mengikuti dengan serius dan dinyatakan lulus. Namun pada fakta di lapangan, belum tentu demikian. Setidaknya hal ini yang saya jumpai di daerah. Malah guru yang sudah sertifikasi sibuk dengan urusan bisnisnya. 

Jadi siapa yang rugi? Pemerintah bayar mahal, namun kinerja tidak maksimal, dan kualitas pendidikan siswa tidak ada perkembangan. Jika kejadian ini berlanjut secara terus menerus, maka pendidikan kita akan tetap stagnan,  apalagi pendidikan di daerah tertinggal. 

Senada dengan pernyataan Ketua Pengelola PPG UNP, Mantan Mendikbud  Pak Anis Baswedan dalam acara Debat Pilkada DKI di Net TV yang menyinggung mengenai pendidikan menyatakan bahwa mutu pendidikan dapat ditingkatkan jika ada proses pendidikan yang baik. Yang menjadi konsentrasi adalah mutu dari seorang  guru, dan bukan hannya sertifikasinya. Dan problemnya menurut pak Anis adalah gurunya sudah sertifikasi namun kinerjanya tetap. Selayaknya guru yang sudah sertifikasi itu menyenangkan di sekolah, yang intinya membuat anak senang dan cinta belajar. Fakta ini seharusnya menjadi bahan evaluasi bagi pemerintah. 

Dengan masalah kinerja guru sertifikasi ini, seharusnya pemerintah mengkaji ulang perekrutan tenaga Pendidik. Guru yang direkrut oleh pemerintah itu harus yang memiliki minat sebagai seorang guru. Namun pada kenyataannya, diberbagai daerah praktek KKN menjadi masalah utama dalam perekrutan tenaga pendidik. Bahkan sudah berlangsung lama, akibatnya jangan salah jika kinerja para tenaga pendidik kita diberbagai daerah banyak yang bobrok. 

Demikian halnya dengan perekrutan calon guru di Universitas, sharusnya  seleksi yang dilakukan benar-benar objektif. Sehingga para mahasiswa/i yang terpilih menjadi calon guru adalah yang benar-benar berminat jadi guru. Dan para guru inilah yang kemudian hari menjadi guru yang professional.

Terima kasih atas kunjungannya di blog "IDsaragih.com". Pertanyaan dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini.
EmoticonEmoticon