OLEH: Desmaiyanti, S. Pd.,Gr
“Ibu guru... Ibu
guru... Ibu guru tidur kah?”, akupun terbangun dari tidur siangku saat
mendengar suara pelan yang memanggil dari samping rumah keluarga piaraku. Suara
yang sangat pelan tetapi selalu aku nantikan. Kubuka mataku, sesaat akupun
tersenyum seraya membatin “kemana lagi ya mereka akan mengajakku?”. Aku tidak
segera bangkit untuk menemui pemilik suara-suara kecil itu. Usil, aku malah menunggu
mereka memanggiku lagi. “Ibu guru...”, suara itu kembali terdengar. Akupun
menyahut tak kalah pelan “iya, bagaimana tu?”. Terdengar suara tawa beberapa
anak remaja. Akupun membuka pintu. Di sana terlihat Fitri, Mada, dan Onal
tersenyum melihatku. Mereka adalah murid-murid kesayanganku. Mereka selalu
mengajakku ke sana ke mari untuk melepas rasa jenuh di negeri yang minim
hiburan seperti Ilwaki ini. Entahlah, mereka selalu punya cara. Dan aku
bersyukur karena kehadiran mereka.
Siang itu mereka
mengajakku ke pantai tak jauh dari rumah. Pantai di dekat kelokan tajam Ilpoi.
Aku sering melewati kelokan itu bila beruntung mendapat tumpangan motor untuk
pulang atau pergi sekolah. Setiap aku melewatinya, hatiku selalu berdecak kagum
karena keindahan yang disajikan pemandangan lepas pantai tanpa pasir. Yah, asal
kau tahu, bila kebanyakan pantai di pulau-pulau kawasan Maluku Barat Daya
didominasi pantai berpasir putih, berbeda dengan Ilwaki, hampir semua pantainya
dipenuhi bebatuan dan kerikil kecil. Berbagai jenis bebatuan ada di sana.
Berkah tersendiri bagi penduduknya. Kandungan emas pada bebatuan membuat
beberapa perusahaan memberikan kesempatan kepada warga untuk menjual batu-batu
dengan karakteristik tertentu. Ada batu merah, putih, bahkan hitam. Mereka membelinya
dengan harga yang bervariasi. Mulai dari Rp. 1000/kg sampai Rp.5000/kg.
Lihatlah betapa pemurahnya sang pencipta kepada negeri ini. Bayangkan saja,
mereka tidak perlu menanam, membersihkan, atau memberi pupuk layaknya petani
yang akan menjual hasil panen. Mereka hanya perlu membungkuk, menajamkan mata,
lalu memilih dengan hati-hati bebatuan yang bertaburan di sepanjang bibir
pantai di Ilwaki. Aku pernah menemani mama dan Kak Nur mencari batu. Memang
benar, bebatuan itu berkilau di dalam air laut nan jernih. Satu persatu batu
merah itupun terkumpul. Setiap hari mereka mengumpulkannya namun batu-batu itu
tak pernah habis. Ajaib.
Siang itu
langkah-langkah kecil kami terhenti di depan bongkahan batu besar yang berada
di dekat jurang tepat di tikungan tajam Ilpoi. Perlu melewati sedikit jalan
bersemak yang agak curam agar sampai di bebatuan besar itu. Mereka saling
berpandangan. Aku tahu maksudnya, mereka agak ragu melihatku yang memakai rok
ini bisa menuju ke sana. “Ibu guru jang pi sana, katong taku ibu guru jatuh”,
serempak mereka menghalangiku. Dengan langkah pasti, akupun meninggalkan
mereka. Aku memang sudah biasa melewati jalan-jalan yang sulit dengan rokku.
Tenang, aku selalu memakai training jadi no problem. Mereka hanya geleng-geleng
kepala melihatku yang tanpa takut memanjati batu besar yang agak licin
itu. Akhirnya akupun sampai. Betapa
takjubnya aku melihat pemandangan lepas pantai yang begitu indah. Deburan ombak
yang langsung pecah di bawah kakiku berubah menjadi buih-buih bening layaknya mutiara.
Air laut terkumpul di cekungan yang terbentuk dari gabungan batu-batu besar di
bibir laut. Cekungannya membentuk wadah melengkung selangkah kaki orang dewasa.
Membuat air terkumpul sejenak saat air laut surut. Airnya hijau karena pantulan
lumut-lumut yang melekat di dasar bebatuan. Aku sempat menghulurkan kakiku,
duduk di atas batu, menyentuhkan jemariku di air laut yang datang dan pergi.
Airnya begitu sejuk. Sesekali kulihat ikan-ikan kecil terperangkap di cekungan
itu saat air surut dan kembali bebas saat air kembali ke pantai.
Fitri, Mada, dan
Onal pun menyusulku. Kekhawatiran terlihat jelas di wajah mereka. Tak ingin
sesuatu hal yang buruk menimpaku. Ya, begitulah mereka, selalu menjagaku.
Melihatku tersenyum lepas memandang ke arah lautan bebas, merekapun duduk di
sampingku. Fitri mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Kulihat benda bulat hijau
sebesar dua kali kepalan orang dewasa. Baunya yang khas langsung menggoda indra
penciumanku. Wah, mangaa :D
Dengan sigap
Mada mengupas mangga raksasa itu. Sebenarnya aku sedikit ragu dengan rasanya.
Lidah orang Maluku berbeda dengan lidahku. Pernah suatu kali kami berburu
mangga di kebun warga. Semua anak-anak dengan semangat mengajakku. Mereka
mengatakan bahwa mangga-mangga di kampung sudah banyak yang masak. Dan rasanya
juga manis. Setelah sampai di kebun aku hanya bisa tercengang karena
mangga-mangga itu masih muda. Mereka dengan lahapnya memakan mangga-mangga yang
masih hijau itu. Tidak ada raut wajah pertanda mangga itu asam. Akupun
mencobanya. Saat satu sayatan mangga itu menyentuh lidahku barulah aku sadar
ternyata manis yang mereka katakan itu sangat berbeda dengan manis yang selama
ini aku rasakan. Cukup satu gigitan yang kupaksakan untuk menelan. Dan sejak
hari itu aku tidak lagi percaya begitu saja kalau mereka menawarkan buah
mangga. Hehe.
Sama halnya
dengan mangga raksasa itu, aku ragu untuk memakannya. Tapi, Fitri berapi-api
mengatakan kalau mangga ini berbeda. Mangga ini sangat manis. “Ibu guru boleh
potong bet pung daon telinga ni kalo ibu rasa asam”. Mendengar keyakinan Fitri
akupun mencobanya. Ternyata benar, manis. Kamipun menikmati mangga itu sembari
menghabiskan senja di atas bebatuan itu. Bertukar cerita tentang kegalauan
mereka. Sedikit memberi petuah dan membakar semangat. Matahari yang terbenam
mengeluarkan sinar jingga menjadi saksi pertemuan kecil kami sore itu. Indah
tak terperi.
Keesokan
harinya, Fitri, Mada, dan Onal berlari ke arahku. Wajah mereka pucat pasi.
Mereka bergantian bercerita, “ibu, bet bapa bilang tempat katong main kemaren
tu, tempat bermain buaya kalau sore ibu. Orang-orang dong seng pernah ada yang
main di sana ibu.” Jeng!!!. Bagai petir menyambar. Huft... Untunglah kami tidak
bertemu dengan para buaya itu. Dan lebih beruntung lagi, kami adalah orang
pertama yang menikmati indahnya suasana sore di Ilwaki dari tempat bermainnya
para buaya hehe.
Terima kasih atas kunjungannya di blog "IDsaragih.com". Pertanyaan dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini.
EmoticonEmoticon