16 Januari 2017

Di Atas Bebatuan Dekat Sarang Buaya

OLEH: Desmaiyanti, S. Pd.,Gr
“Ibu guru... Ibu guru... Ibu guru tidur kah?”, akupun terbangun dari tidur siangku saat mendengar suara pelan yang memanggil dari samping rumah keluarga piaraku. Suara yang sangat pelan tetapi selalu aku nantikan. Kubuka mataku, sesaat akupun tersenyum seraya membatin “kemana lagi ya mereka akan mengajakku?”. Aku tidak segera bangkit untuk menemui pemilik suara-suara kecil itu. Usil, aku malah menunggu mereka memanggiku lagi. “Ibu guru...”, suara itu kembali terdengar. Akupun menyahut tak kalah pelan “iya, bagaimana tu?”. Terdengar suara tawa beberapa anak remaja. Akupun membuka pintu. Di sana terlihat Fitri, Mada, dan Onal tersenyum melihatku. Mereka adalah murid-murid kesayanganku. Mereka selalu mengajakku ke sana ke mari untuk melepas rasa jenuh di negeri yang minim hiburan seperti Ilwaki ini. Entahlah, mereka selalu punya cara. Dan aku bersyukur karena kehadiran mereka.

Siang itu mereka mengajakku ke pantai tak jauh dari rumah. Pantai di dekat kelokan tajam Ilpoi. Aku sering melewati kelokan itu bila beruntung mendapat tumpangan motor untuk pulang atau pergi sekolah. Setiap aku melewatinya, hatiku selalu berdecak kagum karena keindahan yang disajikan pemandangan lepas pantai tanpa pasir. Yah, asal kau tahu, bila kebanyakan pantai di pulau-pulau kawasan Maluku Barat Daya didominasi pantai berpasir putih, berbeda dengan Ilwaki, hampir semua pantainya dipenuhi bebatuan dan kerikil kecil. Berbagai jenis bebatuan ada di sana. Berkah tersendiri bagi penduduknya. Kandungan emas pada bebatuan membuat beberapa perusahaan memberikan kesempatan kepada warga untuk menjual batu-batu dengan karakteristik tertentu. Ada batu merah, putih, bahkan hitam. Mereka membelinya dengan harga yang bervariasi. Mulai dari Rp. 1000/kg sampai Rp.5000/kg. Lihatlah betapa pemurahnya sang pencipta kepada negeri ini. Bayangkan saja, mereka tidak perlu menanam, membersihkan, atau memberi pupuk layaknya petani yang akan menjual hasil panen. Mereka hanya perlu membungkuk, menajamkan mata, lalu memilih dengan hati-hati bebatuan yang bertaburan di sepanjang bibir pantai di Ilwaki. Aku pernah menemani mama dan Kak Nur mencari batu. Memang benar, bebatuan itu berkilau di dalam air laut nan jernih. Satu persatu batu merah itupun terkumpul. Setiap hari mereka mengumpulkannya namun batu-batu itu tak pernah habis. Ajaib. 

Siang itu langkah-langkah kecil kami terhenti di depan bongkahan batu besar yang berada di dekat jurang tepat di tikungan tajam Ilpoi. Perlu melewati sedikit jalan bersemak yang agak curam agar sampai di bebatuan besar itu. Mereka saling berpandangan. Aku tahu maksudnya, mereka agak ragu melihatku yang memakai rok ini bisa menuju ke sana. “Ibu guru jang pi sana, katong taku ibu guru jatuh”, serempak mereka menghalangiku. Dengan langkah pasti, akupun meninggalkan mereka. Aku memang sudah biasa melewati jalan-jalan yang sulit dengan rokku. Tenang, aku selalu memakai training jadi no problem. Mereka hanya geleng-geleng kepala melihatku yang tanpa takut memanjati batu besar yang agak licin itu.  Akhirnya akupun sampai. Betapa takjubnya aku melihat pemandangan lepas pantai yang begitu indah. Deburan ombak yang langsung pecah di bawah kakiku berubah menjadi buih-buih bening layaknya mutiara. Air laut terkumpul di cekungan yang terbentuk dari gabungan batu-batu besar di bibir laut. Cekungannya membentuk wadah melengkung selangkah kaki orang dewasa. Membuat air terkumpul sejenak saat air laut surut. Airnya hijau karena pantulan lumut-lumut yang melekat di dasar bebatuan. Aku sempat menghulurkan kakiku, duduk di atas batu, menyentuhkan jemariku di air laut yang datang dan pergi. Airnya begitu sejuk. Sesekali kulihat ikan-ikan kecil terperangkap di cekungan itu saat air surut dan kembali bebas saat air kembali ke pantai. 

Fitri, Mada, dan Onal pun menyusulku. Kekhawatiran terlihat jelas di wajah mereka. Tak ingin sesuatu hal yang buruk menimpaku. Ya, begitulah mereka, selalu menjagaku. Melihatku tersenyum lepas memandang ke arah lautan bebas, merekapun duduk di sampingku. Fitri mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Kulihat benda bulat hijau sebesar dua kali kepalan orang dewasa. Baunya yang khas langsung menggoda indra penciumanku. Wah, mangaa :D

Dengan sigap Mada mengupas mangga raksasa itu. Sebenarnya aku sedikit ragu dengan rasanya. Lidah orang Maluku berbeda dengan lidahku. Pernah suatu kali kami berburu mangga di kebun warga. Semua anak-anak dengan semangat mengajakku. Mereka mengatakan bahwa mangga-mangga di kampung sudah banyak yang masak. Dan rasanya juga manis. Setelah sampai di kebun aku hanya bisa tercengang karena mangga-mangga itu masih muda. Mereka dengan lahapnya memakan mangga-mangga yang masih hijau itu. Tidak ada raut wajah pertanda mangga itu asam. Akupun mencobanya. Saat satu sayatan mangga itu menyentuh lidahku barulah aku sadar ternyata manis yang mereka katakan itu sangat berbeda dengan manis yang selama ini aku rasakan. Cukup satu gigitan yang kupaksakan untuk menelan. Dan sejak hari itu aku tidak lagi percaya begitu saja kalau mereka menawarkan buah mangga. Hehe. 

Sama halnya dengan mangga raksasa itu, aku ragu untuk memakannya. Tapi, Fitri berapi-api mengatakan kalau mangga ini berbeda. Mangga ini sangat manis. “Ibu guru boleh potong bet pung daon telinga ni kalo ibu rasa asam”. Mendengar keyakinan Fitri akupun mencobanya. Ternyata benar, manis. Kamipun menikmati mangga itu sembari menghabiskan senja di atas bebatuan itu. Bertukar cerita tentang kegalauan mereka. Sedikit memberi petuah dan membakar semangat. Matahari yang terbenam mengeluarkan sinar jingga menjadi saksi pertemuan kecil kami sore itu. Indah tak terperi.

Keesokan harinya, Fitri, Mada, dan Onal berlari ke arahku. Wajah mereka pucat pasi. Mereka bergantian bercerita, “ibu, bet bapa bilang tempat katong main kemaren tu, tempat bermain buaya kalau sore ibu. Orang-orang dong seng pernah ada yang main di sana ibu.” Jeng!!!. Bagai petir menyambar. Huft... Untunglah kami tidak bertemu dengan para buaya itu. Dan lebih beruntung lagi, kami adalah orang pertama yang menikmati indahnya suasana sore di Ilwaki dari tempat bermainnya para buaya hehe.

Terima kasih atas kunjungannya di blog "IDsaragih.com". Pertanyaan dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini.
EmoticonEmoticon