17 Januari 2017

Tapak Tilas Menuju Ambon

OLEH: Desmaiyanti, S.Pd., Gr

Rabu, 24 desember 2014“Allahu akbar allahu akbar”, aku tersentak mendengar lantunan azan subuh. Dengan mata masih terpejam, aku menikmati suara nan indah itu. Sesaat aku merasa berada di kampung, di rumahku tepatnya. Aku menunggu ibuku yang biasanya membuka pintu kamar dan membangunkanku. Lama kutunggu, namun yang ditunggu tidak kunjung datang. Perlahan kubuka mataku, gelap. Hanya ada seberkas cahaya di langit-langit ruangan sebelah. Seperti biasa, Kak Nur menghidupkan senter kecilnya menghadap ke atas. Karena tidak ada plafon yang membatasi langit-langit antar ruangan, satu sinar cukup menerangi kami di dalam satu rumah. Asal kau tahu, meskipun Ilwaki sudah memiliki listrik yang bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), tapi kekuatan yang masih relatif terbatas membuat negeri ini bercahaya hanya pada saat-saat tertentu saja. Selebihnya, haha gelap :D. 
 
Yap, aku masih di negeri rantau. Suara azan itu berasal dari handphone ku. Satu desahan tertahan keluar dari mulutku, ahh jujur aku rindu rumahku, tapi aku tersenyum tipis, “oh ya, bukankah hari ini hari libur dan aku akan segera berangkat ke Ambon, asiiik ^_^”. Akupun membangunkan Sri. Matanya yang masih terkantuk-kantuk segera mengikutiku menuju kamar mandi. Untunglah kamar mandi kami berada di dalam rumah, tidak seperti rumah lainnya. Tak terbayangkan dalam otakku jika setiap subuh kami harus merasakan berada dalam film horor. Ahh, bukankah sudah kuberitahu padamu kawan, negeri ini bertuah, kisah seram dan rupa-rupa kengerian yang biasa dipertontonkan di televisi, ada di sini. Bahkan, saat kamar mandi sudah di dalam rumah saja, sesekali kami merasakan ada orang yang mengintip dari celah pintu di samping rumah. Memang pintu kami masih berupa susunan papan sehingga masih ada celah diantaranya. Cukup untuk sekedar mengintip dari luar sana. Kadang juga, dalam sepinya subuh yang gelap gulita, kami mendengar langkah kaki yang diseret di antara bebatuan yang sengaja diletakkan di sekeliling rumah. Hiiy, seram bukan. 

Masih dalam dunia kegelapan, kami sholat subuh berjamaah. Terbata-bata Sri melantunkan iqamah dan aku menjadi imamnya. Sepinya suasana subuh kadang membuat bulu kudukku merinding. Meskipun suara-suara aneh di luar sana tetap terdengar aku mencoba mengabaikannya. Bahkan aku mengeraskannya agar makhluk apapun itu segera pergi karena takut. haha.

Selesai sholat dan membaca qur’an beberapa ayat, akupun kembali tidur. Hehe, kebiasaanku tidak bisa hilang. Entahlah, kepalaku sakit dan seharian aku akan pusing jika tidak melakukannya. Biarpun ibuku telah memarahiku setidaknya 4 sks setiap hari hanya untuk masalah betapa tidak baiknya tidur setelah subuh, aku tetap melakukannya. Maafkan aku ibu :D

Tidak lama berselang sayup-sayup kudengar suara ribut, sepertinya suara Kak Nur. Ohh, benar. Kak Nur sambil berlari-lari kecil berteriak memanggil namaku. “Ibu guru ... Ibu... kapal su sandar, ibu guru seng jadi pi ambon kah?”. Memang sejak semalam aku sudah memberitahu Mama, Kak Nur, Sri, dan Tete bahwa aku akan menghabiskan liburan di Ambon dengan menumpang kapal Kinei, kapal khusus barang yang difungsikan untuk menampung manusia juga. Tapi, tak kusangka kapal datang secepat ini. Tanpa ambil tempo, aku langsung cuci muka, gosok gigi, dan berganti tanpa mandi. Yup... Tanpa mandi... Aku tak ambil pusing dengan bauku yang belum mandi sejak pagi kemaren hihi yang penting aku tidak ingin ketinggalan kapal saat ini. Pengalaman ketinggalan kapal sudah terlalu dalam menyisakan luka untukku haha. Dan hari ini aku tak sudi mengulang kisah yang sama. Aku bersama Bapak Melki, tetangga kami yang biasa memberi tumpangan dengan motornya, bergegas menuju pelabuhan. Jangan kau pikir pelabuhan seperti yang ada di kota-kota, bukan. Aku lebih suka menyebutnya dermaga. Bagaimana tidak, tempat itu hanya sanggup menampung satu kapal berukuran besar. Jika ada kapal yang akan masuk, maka kapal lain harus bergeser dulu ke tengah laut karena tidak muat. Atau ngetem dulu sampai kapal yang ada di dermaga beringsut pergi.

Diperjalanan menuju dermaga, kami berselisih dengan beberapa penduduk yang kembali dari dermaga. Mereka bilang itu bukan kapal kinei tapi kapal lain. Kami tetap ke pelabuhan untuk memastikan. Sesampainya di dermaga ternyata kapal itu memang bukan kapal kinei. Dalam hati aku lega, tak kubayangkan bagaimana bauku pagi itu jika ku tetap berangkat. Terima kasih ya Allah. Kamipun kembali pulang untuk mandi, makan, dan menyiapkan bekal. 

Jam 9 aku sudah di dermaga lagi. Setengah jam kemudian kapal kinei datang. Dari jauh kupandangi kapal ini. Ternyata benar cerita mama dan guru-guru di sekolah. Yah, memang guru-guru dan mama berat melepasku pergi dengan kapal ini. Mereka bilang kapal kinei tidak bagus dan jika aku menaikinya maka aku akan menderita di perjalanan. Bahkan mereka bilang, mungkin aku tidak akan sanggup naik kapal itu. Beuh, kau tahu, semangatku malah semakin membara saat mereka meragukan kemampuanku. Aku memang kecil dan terlihat lemah, tapi jika mereka bisa akupun bisa hoho. 

Semangatku sedikit ciut saat melihat kapal ini mulai merapat ke dermaga. Tak seperti km sabuk, kapal kinei tidak menyediakan tempat tidur. Kapal yang berukuran lebih kecil ini hanya memiliki satu lantai. Di atasnya ditutupi terpal untuk melindungi dari panas dan hujan. Lebih mirip tenda pengungsian korban bencana alam. Manusia begitu banyak di atasnya. Pun barang-barang juga ditumpuk tinggi. Dan disela barang-barang itu, orang-orang menggelar tikar sesukanya. Dan sempat kulihat di sana juga terikat beberapa ekor kambing. Oh mamae... Bang Leo, teman sepenempatanku, sempat menanyakan keyakinanku untuk menaiki kapal ini sendiri. Sebenarnya aku mulai ragu, tapi ya sudahlah aku sudah di sini. Dan aku ingin liburan di negeri yang ada sinyalnya T_T.  

Beberapa saat aku hanya terdiam di dermaga. Aku bingung bagaimana caranya naik ke kapal. Kapalnya bergoyang begitu keras karena gelombang darat yang cukup kuat. Hei, ini sudah musim barat, musim di saat lautan bergejolak dan menggoyangkan benda-benda di atasnya. Tidak ada jembatan, tidak ada tali. Orang-orang hanya melompat langsung ke bibir kapal. Untung saja aku memakai celana bukan rok. Haha. Dan aku juga bingung bagaimana caraku nanti tidur saat malam. Kau tahu, perjalanan dari Ilwaki menuju Ambon membutuhkan setidaknya seminggu perjalanan laut. Dalam kebingunganku, aku mendengar seseorang memanggilku, “ibu guru... Ibu guru”. Akupun menoleh, terlihat di sana ibu paruh baya menggunakan kerudung hitam melambai ke arahku. Wajahnya belum pernah kulihat. Sepertinya bukan penduduk Ilwaki. “Ibu guru berangkat kah?”. Akupun tersenyum seraya mengangguk. “Ibu guru di dekat beta sa, di sini masih ada tempat par ibu guru”. Dalam hati aku bersyukur. Akupun melompat ke kapal sambil dipegangi oleh perempuan baik itu. Sedikit saja kakiku melesat, aku akan jatuh ke pangkuan lautan. Di sela rasa legaku, aku merasa heran. Bagaimana ibu ini tahu aku seorang guru. Aku sempat menanyakan hal ini. Dan dengan santai si ibu berkata “beta lihat ibu pung jilbab, katong su tau, kalau ada anak muda berjilbab dan berkulit putih itu pasti ibu guru dari jawa”. Aku tersenyum simpul mendengarnya. Ups, ini bukan pertama kalinya orang-orang mengira aku ibu guru dari jawa. Dan kau tahu, aku sampai bosan ingin mengklarifikasi bahwa aku bukan dari Jawa tapi dari Padang. Belakangan aku baru tahu, bagi mereka, orang Maluku Barat Daya, siapapun pendatang dari luar sana mereka anggap orang Jawa. Yap, siapapun. 

Aku bersyukur, perempuan berkerudung yang senang dipanggil Bibi Zainab ini sudah membawa tikar. Di sekeliling tikarnya ditumpuk kardus supermi sebagai pembatas dengan yang lain. Bibi Zainab memperlakukanku layaknya putri kandungnya. Dia memberiku makan dan menjagaku. Bahkan aku juga sempat melihat dia menyelimutiku. Padahal aku baru saja mengenalnya. Saat kapal sandar di Pulau Kisar, Bibi Zainab memberiku Lemon Kisar, jeruk berukuran cukup besar yang sangat manis. Puas aku memakannya. Bersama Bibi Zainab kuhabiskan hari itu.

Malam jam 23:30 WIT kapalpun sandar di pelabuhan Kaiwatu, Pulau Moa. Sedihnya aku, saat aku tahu Bibi Zainab turun di sini. Sesaat Bibi melihatku dan menimbang. Di saat yang sama terdengar pengumuman bahwa kapal akan melanjutkan perjalanannya esok jam 9 pagi. Bibi pun tersenyum dan berkata “ibu Desi, ikut deng beta sa, ikut ke camp tempat bet tinggal. Besok pagi beta antar ke kapal lagi”. Belum sempat aku menjawab, Bibi Zainab sudah meminta putranya mengangkat ranselku. Jadilah aku hanya bisa mengikuti langkahnya. Ahh, tidak apa-apa, toh sama saja, lagipula aku tertarik melihat bagaimana pulau Moa, tempat kota kabupaten ditempatkan, seperti apakah tempat ini??

Dengan sepeda motor kamipun menuju camp yang disebut-sebut Bibi Zainab. Diperjalanan aku disambut pesta kembang api. Kulihat di langit bertaburan kembang api warna-warni. Oh ya, aku baru ingat, ini sudah lewat jam 00.00 WIT. Artinya sudah tanggal 25 desember, hari natal. Ini pertama kalinya aku melihat pesta kembang api saat malam. Ternyata memang indah.

Setelah tak ada lagi kembang api di langit, aku baru sadar betapa jeleknya jalanan yang kami tempuh. Belum ada aspal. Hanya tanah merah yang dibuka untuk jalanan. Di kiri-kanan masih banyak semak belukar. Sesekali kami harus menghindari lubang bekas terpuruknya roda mobil truk yang sangat licin bila hujan turun. Semua itu membuat perjalanan terasa begitu lama. Sesekali kulihat rumah penduduk. Awalnya ramai, makin ke ujung hanya tersisa satu-satu. Dan di tempat yang tidak ada cahaya sama sekali, motor yang kutumpangi berhenti. Terlihat di sana tiang-tiang kayu yang masih terpancang. Sebagian sudah dipasangi papan sebagai dinding, sebagian lagi belum. Untunglah sudah ada atap di bagian yang memiliki dinding. Pekerjaan suami Bibi Zainab adalah kontraktor perusahaan kayu. Pekerjaan ini membuatnya harus berpindah-pindah. Inilah yang membuat mereka lebih memilih membuat camp sementara dibandingkan rumah permanen. Tidak ada wc, apalagi kamar mandi. Tidak ada lampu. Hanya ada lentera buatan kecil dari sebilah besi yang diisi kain dan diletakkan pada kaleng sarden yang sudah diisi minyak tanah. Aku sempat ingin buang air kecil. Melihatku bingung, Bibi Zainab menuntunku menuju dua bilah papan yang diletakkan agak jarang. Dan di sanalah mereka biasanya buang air kecil. Untunglah malam gelap gulita, kalau tidak... T-T. Semuanya sangat-sangat sederhana. Tapi lihatlah kesederhanaan ini berbanding terbalik dengan hati mereka. Sungguh, hati mereka sangat kaya. Mereka memuliakanku layaknya raja. Mereka sangat paham arti pepatah tamu adalah raja. 

Keesokan harinya Bibi Zainab mengajakku mandi di sungai. Tidak ada pilihan lain, tak ada sumur di sana, apalagi kamar mandi. Gontai aku mengikuti langkah bibi menuju rimbunya hutan, cukup jauh masuk ke hutan, kudengar bunyi gemerisik air. Tak sabar, akupun bergegas mendekati bunyi tersebut. Wah, setibanya di bibir sungai aku terpaku melihat jernihnya air sungai di kelilingi pepohonan yang tinggi-tinggi. Tidak ada sampah, bening sampai aku rasanya ingin meminum langsung air itu. Sesekali burung-burung hutan bersahut-sahutan. Aku yang tahu akan mandi di sungai sudah siap sedia dengan kain sarung andalanku. Dengan cepat akupun mandi. Beruntung tidak ada yang lewat. Kulihat bibi masih sibuk mandi. Beberapa saat setelah aku berpakaian lengkap, tiba-tiba rumput di sebelah hilir sungai bergoyang. Aku dan bibi Zainab saling menatap. Nafasku tertahan. Seorang lelaki berbadan tegap, berkulit hitam, dengan pandangan tajam mendekat ke arah kami. Dengan santainya melewati kami. Oh, sepertinya dia ingin mandi juga. Dia mencari tempat yang lebih tinggi. Setelah dia berlalu aku baru sadar, bukankah bibi masih mandi??!!
Sebelum jam sembilan di pagi itu, Bibi Zainab sudah sibuk menyiapkan bekal untuk perjalananku. Sekali lagi aku heran. Kenapa sih, dia begitu baik pada orang yang baru dikenalnya. Bukankah aku bukan siapa-siapa. Saudara se-Maluku saja tidak. Dengan santai Bibi Zainab berkata “katong juga perantau ibu guru, katong harap nanti jika anak cucu katong pi mana-mana, akan ada orang baik yang menolong dong jua”. Salut!!

Kekagumanku tidak berhenti sampai di sana. Setibanya kami di pelabuhan Kaiwatu, mama memegangku erat. Dia menuntunku memasuki kapal seraya memanggil seorang ibu yang sepertinya beberapa tahun lebih tua dari umur bibi Zainab. Belakangan aku baru tahu, Bibi Zainab meminta ibu ini untuk menjagaku selama di perjalanan menuju Seumlaki, Pulau lain tempat tujuan sang ibu. Bibi Zainab juga meminta abk kapal untuk membantuku jika aku membutuhkan sesuatu. Tak kusangka begitu sayangnya Bibi Zainab kepadaku. Terima Kasih Bibi.

Perjalananku pun berlanjut. Kapal bergerak cepat membelah lautan menuju pemberhentian selanjutnya, Saumlaki. Saumlaki sudah bukan lagi kawasan dalam Kabupaten Maluku Barat Daya. Saumlaki termasuk dalam Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Selama di perjalanan aku menikmati pemandangan berupa hamparan permadani biru membentang dan sesekali tampak pulau-pulau kecil di tengah lautan. Sungguh damai mata memandang. Dalam perjalanan ini aku merasakan betapa kayanya Indonesia. Untuk kawasan MBD ini saja bisa kita temui ribuan pulau-pulau kecil apalagi seluruh Indonesia. Sesekali aku melihat lumba-lumba saling kejar mengejar di dasar kapal mengikuti laju kapal. Mereka memperlihatkan pertunjukan yang sangat memukau. Mereka saling bersahut-sahutan, seolah-olah bergembira karena bertemu dengan makhluk darat seperti kami. Jika malam telah gelap, akan kami nikmati pemandangan ikan terbang. Ya, ikan terbang!!! Aku tidak membual, mereka benar-benar terbang. Kalau kau tak percaya, coba saja datang ke sana haha. Tubuh mereka memancarkan cahaya sehingga saat mereka terbang, kami seolah melihat cahaya-cahaya kecil meloncat-loncat kian kemari. Sungguh, setiap saat aku terkagum-kagum pada kehebatan Sang Pencipta. Wajar saja, agama Islam memerintahkan umatnya untuk merantau sejauh-jauhnya, ya untuk satu tujuan, semakin banyak kita melalui daerah dengan keadaan alam dan kekhasan yang menakjubkan maka semakin banyak jugalah rasa syukur dan rasa penghambaan kita di hadapan Sang Pencipta yang Maha Hebat. 

Malampun datang, kapal semakin dekat dengan Pelabuhan Saumlaki. Hatiku dag, dig, dug. Bagaimana tidak, dari awal aku memang sudah tahu kalau kapal Kinei ini berlayar hanya sampai di Saumlaki, setelah itu kapal akan naik dok, karena alasan musim gelombang besar sudah datang. Aku telah berencana menaiki kapal Pangrango untuk melanjutkan ke Ambon. Betapa terkejutnya aku mendengar kabar bahwa kapal Pangrango terakhir telah berangkat menuju Ambon. Pikiranku buntu, waduh bagaimana nasibku. ABK kapal yang melihatku kebingungan menyarankanku untuk mencari informasi lebih lanjut ke pusat informasi, Syahbandar Saumlaki. Ternyata berita itu benar, dan parahnya kapal-kapal lain juga mendapat larangan berlayar karena gelombang tinggi yang tidak memungkinkan untuk berlayar. Akupun memutar otak. Kabarnya kapal-kapal lain baru akan berlayar paling cepat tiga hari kemudian. Oh, tidak mungkin!! Dimana aku akan menetap??!! Salah seorang mualim kapal menyarankan padaku untuk menaiki pesawat saja. Untunglah Saumlaki sudah maju. Di sana sudah ada bandara kecil. Dan setiap hari beberapa pesawat kecil beroperasi. Dengan modal nekat aku memutuskan untuk menggunakan pesawat karena hanya ini satu-satunya transportasi yang bisa aku gunakan. 

Permasalahanku belum selesai. Aku memang tahu di pulau ini ada bandara. Aku pikir di bandara mereka akan menjual tiket pesawat seperti layaknya bus atau kapal haha. Pagi harinya aku bersiap menuju bandara. Melihatku bergegas menuju jalan raya, ibu-ibu yang menemaniku sebelumnya menawarkan diri mencarikan ojek untukku. Kamipun menunggu di tepi jalan. Lama kami memandangi keramaian mobil yang lalu lalang. Sesekali kami melihat orang mengendarai motor. Tidak ada tanda-tanda tukang ojek. Huft... Gawat nih. Tiba-tiba seorang pemuda yang mengendarai motor mendekat. Kontan ibu yang menemaniku bertanya, “ojek kah?”. Awalnya si pemuda hanya diam, sekilas melihatku dan jaket SM3T yang aku kenakan. Kemudian dia mengangguk. Lantas kami memintanya mengantarkanku ke bandara. Si pemuda membuka penutup helm nya dan berkata, “su punya tiket kah?”. Aku diam. “kalau seng ada tiket biar bet antar ke tempat jual tiket dolo”. Untunglah sang ibu langsung mengangguk dan meminta si pemuda mengantarku ke tempat penjualan tiket. Tak ada rasa curiga saat itu. Dalam pikiranku hanya satu, bagaimana supaya aku cepat sampa di ambon haha. Untunglah saat itu aku tidak teringat kisah penculikan ataupun kejahatan terhadap perempuan yang berjalan sendiri. Dan untunglah di negeri Maluku ini, kisah seperti itu tidak pernah kutemui. 

Sesampainya di tempat penjualan tiket yang ternyata tidak terlalu jauh dari pelabuhan, aku dapati sebuah rumah dengan kaca-kaca dipenuhi tempelan reklame pesawat komersial. Gerbang dan pintunya masiih tertutup. Aku coba mengetuk, tapi tak ada jawaban. Aku melihat jam di tanganku, ups masih jam 8 WIT. Sepertinya kantor belum buka. Akupun mendekati pemuda yang mengantarku dan menanyakan berapa ongkos ojeknya. Mungkin aku akan menunggu kantornya buka, membeli tiket, kemudian mencari ojek baru untuk mengantarku. Rencana yang sederhana, pikirku. Tapi, si pemuda melihatku ragu. “bagaimana kalau kaka istirahat dolo di tempat beta kerja, biar nanti beta yang carikan tiketnya, beta pung saudara yang kerja di sini”. Wah, boleh juga, lagian aku nggak tahu kapan kantor ini buka, dan menunggu d sini bisa jadi adalah tindakan bodoh, pikirku. Akupun mengangguk. Entah mengapa aku percaya pada pemuda ini. Tidak ada kesan jahat dari sikap dan cara bicaranya. Biasanya aku akan curiga pada orang baru yang kukenal. Tapi, 4 bulan sudah aku berada di Ilwaki, rasa curiga lama-kelamaan menghilang karena begitu tulusnya budi baik orang-orang di sekitarku. 

Akupun sampai di sebuah counter pulsa. Aku sedikit kaget. Dengan sedikit tersenyum sang pemuda berkata, “kaka, sebenarnya bet bukan tukang ojek, bet cuma mau nolong kaka sa, tadi bet kasian liat kaka jadi bet bantu sa”. Haa!! Seketika aku ternganga. Lah kok gitu. Wah, enak juga ya punya wajah polos dan lugu sepertiku. Pantas saja di sepanjang perjalananku banyak sekali orang yang dengan suka rela membantuku. Pertanyaanku terjawab, ternyata wajah dan postur tubuhku yang kecil membuat mereka kasihan padaku hihi. 

Di sana kulihat beberapa gambar dinding. Aku langsung tahu, si pemuda adalah penganut protestan. Lihatlah, dia tak sungkan membantuku meski dia tahu aku penganut agama islam. Berulang kali hal ini terjadi. Di sini, di Maluku, kutemui indahnya kasih sayang dan keikhlasan membantu tanpa melihat agama yang di anut. Bukankah ini ajaran agamaku yang sesungguhnya. Aku teringat tentang kebaikan hati nabi Muhammad kepada pemeluk agama lain. Hei, kau ingat bukan? Nabi setiap hari memberikan makanan kepada si bapak tua yang buta meskipun nabi tahu dia bukan pemeluk agama Islam. Indahnya... Sungguh indah...

Setelah beberapa jam beristirahat, diapun mendapatkan tiket pesawat untukku. Lumayan mahal. RP. 900.000,00. Ahh, sudahlah. Aku tak punya jalan lain. Pesawat berangkat hari itu juga pada pukul 15.00 WIT. Jam 12.00 WIT, kami meluncur menuju bandara. Butuh waktu lebih kurang satu jam perjalanan. Jalanan yang kurang bagus membuat pinggangku terasa linu. Untung aku hanya membawa satu buah ransel. Tak terbayang olehku jika aku membawa barang lebih banyak dari itu. 

Sesampai di bandara, sang pemuda inipun menemaniku menunggu pesawat yang akan berangkat 2 jam lagi. Kamipun bercakap-cakap ringan. Ternyata dia 4 tahun lebih muda dariku. Dia masih kuliah jurusan komputer. Sambil kuliah dia membuka usaha perbaikan komputer dan pengisian pulsa. Hebat! Dia langsung mempraktekkan apa saja yang dipelajarinya di kampus. Dengan uang hassil usaha inilah dia membayar uang kuliahnya. Dia memang bertekad untuk tidak lagi meminta uang kepada orang tuannya. Dan kau tahu, dia juga berencana membuka usaha jual beli panel tenaga surya ke pulau-pulau kecil di MTB. Wah, anak muda yang berpikiran maju. Semoga sukses adek nyong!!
Saat keberangkatankupun tiba, adek nyong membantu adminstrasiku. Dan tidak segan-segan mengatakan kalau aku adalah kakak nya haha. Sungguh terima kasih banyak adek nyong! 

Bagaimanalah aku tidak akan terpukau dengan negeri ini. Bahkan saat aku berjalan sendiri sejauh itu, tidak ada sepercik kekhawatiran dalam hatiku. Karena aku tahu, kemanapun aku melangkah di negeri manise ini, kebaikan hati dan ketulusan penduduknya tidak pernah meninggalkanku. Kau tahu apa senjata rahasiaku?? Jaket SM3T dan jilbab. Cukup dengan menggunakan dua benda sakral ini, semua orang, tua dan muda akan tahu aku adalah seorang guru. Dan kau tahu, di negeri yang terkenal dengan kekerasan watak dan tempramen yang mudah meledak ini, guru adalah insan mulia yang sangat mereka hargai dan hormati. Mereka lebih mendengarkan kata-kata seorang guru daripada tentara ataupun pejabat. Bahkan mereka lebih takut pada kemarahan guru meskipun guru tidak memegang senjata layaknya polisi dan tentara. Karena mereka tahu, gurulah yang akan membantu mereka keluar dari ketidaktahuan. Guru jugalah yang akan membantu mencerdaskan anak-anak mereka dan membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Sungguh, satu tahun aku mengabdi di sana, aku bangga dan bahagia menjadi seorang guru di mata mereka.
Kalwedo......

Terima kasih atas kunjungannya di blog "IDsaragih.com". Pertanyaan dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini.
EmoticonEmoticon