OLEH: Desmaiyanti
Maluku Barat
Daya adalah salah satu kabupaten di propinsi Maluku dengan sebaran wilayah
berada di beberapa pulau. Kondisi ini mengakibatkan setiap aktivitas warga
sangat tergantung pada transportasi laut. Akibatnya, kapal adalah satu-satunya
penghubung dengan dunia luar. Tak heran jika tibanya kapal di pelabuhan ataupun
dermaga pada setiap pulau, merupakan hal yang amat dinanti-nantikan oleh
penduduk.
Kehidupan yang
bergantung pada keramahan laut membuat siapa saja terkadang merasa was-was bila
ingin bepergian. Cemas ditinggal kapal pun cemas kapal tak jadi datang. Bila
musim barat atau musim timur datang, gelombang laut biasanya bisa mencapai
ketinggian 6 meter. Hal ini membuat kapal-kapal yang seharusnya berlayar
mendapat warning. Akhirnya, hanya bisa menunggu saat gelombang sudah
reda, barulah kapal-kapal bisa melanjutkan perjalanannya.
Tertahannya
kapal dan tidak diizinkan berlayar memakan waktu yang tidak bisa dipastikan.
Bisa jadi satu hari, satu minggu, bahkan satu bulan. Wajar bila penduduk
kesulitan menjanjikan atau merencanakan kegiatan. Yah, mau bagaimana lagi tidak
ada yang pasti di negeri itu. Tak bisa dipungkiri kondisi ini terkadang membawa
kisah duka bagi siapa saja. Tak terkecuali aku.
Aku ditempatkan
di sebuah desa kecil bernama Ilwaki. Berada di tepian paling selatan pulau
Wetar dengan pantai dipenuhi batuan berharga mengandung emas. Sungai-sungai
kecil dengan airnya yang jernih mengalir membelah daratan menuju tepian pantai.
Daratanpun dipenuhi pepohonan kayu putih, pohon koli (bahan dasar sofi, minuman
beralkohol khas Maluku), dan pohon kelapa. Lautan yang demikian indah sepanjang
mata memandang biru yang tak pernah ada habisnya. Bening dan jernih. Dasar laut
bisa dengan mudah dilihat. Tak perlu jauh-jauh menyelam, cukup memakai sampan
kecil kita sudah bisa menikmati karang-karang dan ikan-ikan berwarna-warni
berenang kesana-kemari. Jika beruntung, setiap habis subuh kita bisa menikmati
pemandangan sekumpulan lumba-lumba yang berenang di tengah laut. Dan bukan itu
saja, keindahan matahari saat terbit dan tenggelam bisa kita nikmati tanpa ada
penghalang. Pun, saat malam, bulan dan bintang bertabur dengan indahnya. Di
sana, sepertinya matahari dan bulan terlihat lebih indah dan besar. Keindahan
yang selama ini hanya ada di depan layar televisi bisa kita nikmati di sana.
Indahnya Ilwaki
mungkin takkan pernah bisa habis bila diungkap dengan kata-kata. Kekayaan alam
dan potensi pariwisata mungkin suatu saat nanti akan tercium publik dan
akhirnya bisa membuat daerah ini lebih maju. Negeri ini terlalu indah untuk
dibiarkan. Negeri ini sudah terlalu lama ditinggalkan oleh kasih sayang ibu
pertiwi. Meskipun demikian rasa cinta tanah air di negeri ini masih tinggi.
Bagi mereka NKRI harga mati.
Kurangnya
perhatian dan seolah ditinggalkan terlihat dengan belum adanya sarana
komunikasi yang memadai. Belum ada sinyal telekomunikasi mengakibatan negeri
ini semakin terisolir dari perkembangan dunia luar. Untuk bertukar kabar dengan
sanak saudara, mereka biasa menggunakan Ratelda (radio). Berita baik dan buruk
kadang terlambat sampai. Bagaimanalah, Ratelda bukan sarana yang tepat untuk
mengabarkan berita dengan cepat. Selain harus sabar berteriak di depan mikrofon,
kita juga harus puas hanya bisa menitipkan pesan yang tidak bisa dipastikan
sampai atau tidak ke orang yang dituju. Jika mereka sedikit memiliki kelebihan
uang, mereka akan menggunakan telepon satelit yang lumayan mahal. Satu menit
berbicara harus membayar Rp. 12.000,00. Bila dibandingkan dengan ratelda yang
gratis, telepon satelit akan sangat mahal. Makanya, untuk berkomunikasi
kebanyakan penduduk lebih memilih pergi ke pulau lain yang sudah ada sinyal,
seperti ke Kupang atau pulau Kisar. Dan tak bisa dipungkiri, mereka harus
berlayar.
Sudah hampir
empat bulan aku menikmati suasana desa. Keterbatasan komunikasi sedikit banyak
menjadi beban terberat bagiku. Sedikit iri dengan tempat lain yang masih bisa
berusaha berjalan kaki atau memanjat pohon untuk mendapatkan sinyal. Hal ini
membuat kerinduanku pada keluarga semakin membuncah. Entah mengapa
semenjak beberapa minggu ini pikiranku
tak lagi fokus. Perasaanku tak enak. Bulan kemaren aku sempat menelepon dari
Kupang, bertanya kabar dan mencurahkan sedih senang pada ibu dan kakak-kakakku.
Tapi, aku tak pernah sempat berbicara dengan ayahku. Dua hari aku di Kupang dan
berulangkali menelepon, tapi tak sekali juga aku bisa berbicara dengannya.
Meskipun jika ayah berbicara denganku tak pernah lebih dari dua menit, dan
hanya bertanya ‘apakah aku baik-baik saja’ atau ‘hati-hati di negeri orang’,
tetapi itu lebih dari cukup untukku. Setiap aku bertanya ayah dimana, ibu dan
kakak-kakakku hanya menjawab ayah sedang tidur atau ke ladang. Saat itu aku
hanya berbaik sangka saja meski kecewa tidak bisa sedikit bercerita padanya.
Paling-paling aku haya kesal dengan ayahku yang sepertinya tidak terlalu peduli
dengan anaknya yang entah ada dimana sekarang.
Jika orang
bilang pengabdian menuntut pengorbanan maka aku akan menjadi saksi bahwa memang
benar itu terjadi. Makanya sejak memulai niat untuk mengabdi seharusnya ego
bisa menyelaraskan kekuatannya dengan logika. Dan tak pernah kusangka
pengorbanan yang harus diberikan tidaklah kecil bahkan amat besar. Pengorbanan
yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya.
Perasaan tidak
enak itu memenuhi pikiranku. Makanya, hatiku berkeras untuk menghabiskan libur
semester ini di Ambon. Aku harus tahu apa yang terjadi.Berhitung dengan
gelombang yang tinggi dan datangnya kapal KM Sabuk 43, yang lumayan nyaman dan
menyediakan tempat tidur, masih cukup lama, akhirnya aku memutuskan untuk
menaiki kapal barang, kapal Kinei. Kapal ini menuju Seumlaki. Rencana awalku
sesampainya nanti di Seumlaki akan aku lanjutkan menaiki kapal Pangrango menuju
Ambon.
Kapal Kinei,
kapal ini sebenarnya dikhususkan untuk membawa barang-barang dan tidak
menyediakan fasilitas tempat tidur. Hanya ada tenda biru besar untuk atap dan
di bawahnya bersusun acaklah manusia, barang dan bahkan hewan ternak.
Dimana-mana kardus berusun tinggi. Dan di cela-cela tumpukan itu disusun tikar
plastik untuk tempat duduk dan tidur di perjalanan nanti. Ada yang membawa
selimut bahkan bantal. Aku yang tidak pernah menaiki kapal ini, tentunya tidak
punya persiapan apapun. Tidak ada tikar maupun selimut. Aku hanya membawa
ransel yang berisi beberapa pakaian dan laptop. Aku sempat tercengang di
dermaga menyaksikan manusia yang berebutan memilih dan mengklaim daerah
kekuasaannya. Terkadang perkelahianpun tak bisa dielakkan. Mereka saling berteriak
bahkan memaki jika tempat mereka diambil orang lain. Dan urusan bisa panjang.
Perjalanan ini cukup jauh butuh waktu 3 hari 3 malam untuk sampai di Saumlaki. Wajar jika semua orang
menginginkan tempat yang nyaman untuk menikmati perjalanan. Akan sangat menyakitkan
dan menderitanya jika tidak dapat tempat dan hanya bisa duduk di pinggiran
kapal. Ditiup udara malam yang amat dingin dan kena panas sinar matahari yang
amat terik di siang hari. Mama-mama yang
mengantarkanku sempat menahanku, memberikan pertimbangan bagaimana kalau menunggu
kapal penumpang saja. Sempat terpikir untuk mengurungkan niatku berlayar tetapi
rasa penasaranku terlalu kuat dan niatku tak bisa ditahan lagi.
Melihatku yang
kebingungan, seorang ibu-ibu berjilbab hitam menawarkan untuk berbagi tempat
dengannya. Di sana sudah ada tikar yang dikelilingi kardus-kardus sebagai
batasan tempat. Akupun melangkah menaiki kapal dan menerima uluran tangan ibu
berjilbab hitam ini. “Ibu guru mau pi mana lah?”, ibu ini sambil tersenyum
menyapaku. Sontak aku kaget, tahu dari mana ibu ini aku seorang guru. Bukankah
badanku yang kecil dengan ransel ini lebih cocok dibilang anak sekolahan hehe.
Ternyata begitulah indahnya negeri manise ini. Mereka akan langsung tahu hanya
lewat jilbab yang kukenakan. Semua guru kontrak berjilbab, itu yang dikatakan
oleh ibu ini. Bibi Zainab, begitulah ia biasa dipanggil. Kebaikan hati dan
keramahan budi terpancar dari setiap perhatiannya padaku.
Terima kasih atas kunjungannya di blog "IDsaragih.com". Pertanyaan dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini.
EmoticonEmoticon