22 Januari 2017

Danau Tihu, Surga Yang Jatuh ke Bumi

 OLEH: Desmaiyanti, S.Pd., Gr
“Surga yang jatuh ke bumi”, begitulah seorang Nadine Chandrawinata yang sempat menginjakkan kaki di tanah Kalwedo ini, menggambarkan rasa kagumnya. Ibarat permata yang bertaburan di lautan membentuk pulau-pulau kecil nan indah. Daratan-daratan yang istimewa. Bukan hanya karena pesona keindahan yang memuaskan mata tetapi juga cerita-cerita unik yang menyertainya. Setiap tempat menyajikan cerita rakyat yang tidak pernah dilupakan masyarakat. Diceritakan turun temurun sebagai kekayaan budaya. Dan di sana akupun mendapatkan cerita itu, ya di sana di Pulau Wetar. 
 Pulau Wetar, istimewa karena mengambang menjadi daratan paling besar di antara pulau-pulau lainnya. Kupikir luasnya hampir sama dengan Singapura, ahh sudahlah kalaupun tidak, jangan kau pikirkan hehe... Pulau ini berhadapan langsung dengan negara tetangga kita Timor Leste. Negara yang pernah menjadi keluarga kita. Bahkan konon kabarnya serumpun dengan masyarakat Wetar. Dan katanya juga bahasa yang mereka pakai, mirip dengan bahasa di Pulau Wetar. Saat udara tenang, angin teduh, ombak bergerak teratur, dan langit cerah tak berawan, nampaklah di depan sana, daratan asing itu. Membentang begitu panjang. Dan bila malam tiba, kerlap kerlip keindahan kota saat malam hari bisa kita saksikan. Ya, kota di negara tetangga. Saat kita alihkan pandangan ke daratan di mana kita berpijak, waaaah berbeda 180 derajat, hanya satu kata yang terpikirkan, gelap cuy!  

Kegelapan malam yang mencekam akan segera sirna saat mentari pagi mulai mengintip di ufuk timur seiring dengan kokokan ayam yang berniat melakukan satu-satunya hal berguna yang bisa dilakukannya selain mengganggu dan berak. Aih... Saat sinar mengusir pekat, saat itu keindahan tersaji di mana-mana. Membuat siapa saja tersenyum memulai hari yang mungkin akan berat. 

Di tengah-tengah pulau akan kau dapati keindahan danau dengan air bening yang jika kau lihat dari kejauhan berwarna hijau toska. Danau Tihu. Danau yang cukup luas berdindingkan perbukitan yang menjulang tinggi. Di sana bersusun air terjun-air terjun yang belum tersentuh. Alami dan masih perawan. Di salah satu sisi terdapat pulau kecil bernama Pulau Ibu. Pulau yang tidak pernah tenggelam meski air meluap. Di sana-sini berdiri lembah-lembah dipenuhi pepohonan berusia tua. Siapa sangka di balik semua keindahan ini, hampir semua warga takut mendekati dan menghabiskan hari untuk sekedar piknik di sana. Memang danau ini agak menyeramkan. Konon kabarnya, danau ini adalah rumahnya ratusan buaya-buaya yang beranak pinak dengan tenang. Banyak warga yang telah menyaksikan sendiri kehadiran buaya-buaya ini. Pulau ini memang terkenal memiliki banyak buaya. Mulai dari yang berukuran kecil sampai yang super besar. Dari yang berkepala satu sampai yang berkepala dua dan hebatnya lagi juga ada buaya putih. We a we waw!!  

Suburnya koloni buaya ini disebabkan karena adanya larangan berburu dan membunuh buaya. Di negeri ini, bila sembarangan membunuh buaya, akibat buruk akan segera datang. Bahkan katanya, kita akan meninggal layaknya buaya yang kita bunuh. 

 
Berbagai mitos mengiringi kehadiran buaya-buaya ini. Dan semuanya berhubungan dengan kisah asal mula terbentuknya Danau Tihu. Ada banyak kisah yang kudengar, salah satunya yang akan aku ceritakan padamu. Dengarlah aku berkisah, begini ceritanya :D


Dahulu kala, di Pulau Wetar hiduplah beberapa raksasa yang selalu mengganggu kehidupan masyarakat. Semua orang resah dan ketakutan. Tidak berani kemana-mana. Ketakutan ini disaksikan oleh dua orang kakak beradik yang memiliki ilmu tenaga dalam yang luar biasa. Mereka memiliki seorang ibu yang telah renta. Setiap hari mereka berlatih dan menambah kekuata untuk melawan raksasa-raksasa itu. Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Berdua mereka mengerahkan segenap kemampuan untuk memusnahkan pengganggu yang meresahkan itu. Ternyata lawan mereka sangat tangguh. Mereka akhirnya memutuskan mengorbankan diri mereka. Mereka mengeluarkan air yang sangat besar hingga menenggelamkan raksasa-raksasa itu. 

Namun, sebelum itu mereka menyelamatkan ibu mereka di sebuah daratan tinggi. Saat air telah menggenang daratan ini tidak pernah terbenam, dan akirnya dinamakan pulau ibu. Saat raksasa-raksasa itu tidak mampu lagi bertahan merekapun musnah. Kedua adik kakak ini pun masuk ke dalam air dan tak pernah kembali. Konon kabarnya mereka berubah menjadi buaya putih. Oleh karena itu, di sana tidak boleh membunuh buaya sembarangan karena mereka percaya buaya-buaya itu adalah jelmaan nenek moyang mereka. 

Dan buaya-buaya yang sekarang jumlahnya tidak bisa dihitung itu bisa dipanggil oleh tuan tanah yang memiliki hubungan keluarga dengan kakak beradik tadi. Saat mereka memanggil, buaya-buaya itu akan datang berbaris tanpa mengganggu manusia yang ada di sekitar mereka. Dan memang buaya-buaya itu tidak pernah menggigit manusia sembarangan. Hanya orang-orang yang memiliki niat jahat yang akan menjadi korban. Begitulah cerita rakyat yang dipercaya di sana. Layaknya cerita rakyat, meskipun tidak ada yang bia membuktikan kebenarannya, masyarakat tetap saja menceritakannya secara turun temurun kepada anak cucunya. Entahlah.


Terima kasih atas kunjungannya di blog "IDsaragih.com". Pertanyaan dan komentar silahkan tuliskan pada kotak komentar dibawah ini.
EmoticonEmoticon