OLEH: Desmaiyanti, S.Pd., Gr
Rabu, 24 desember 2014, “Allahu akbar allahu akbar”,
aku tersentak mendengar lantunan azan subuh. Dengan mata masih terpejam, aku
menikmati suara nan indah itu. Sesaat aku merasa berada di kampung, di rumahku
tepatnya. Aku menunggu ibuku yang biasanya membuka pintu kamar dan
membangunkanku. Lama kutunggu, namun yang ditunggu tidak kunjung datang.
Perlahan kubuka mataku, gelap. Hanya ada seberkas cahaya di langit-langit
ruangan sebelah. Seperti biasa, Kak Nur menghidupkan senter kecilnya menghadap
ke atas. Karena tidak ada plafon yang membatasi langit-langit antar ruangan,
satu sinar cukup menerangi kami di dalam satu rumah. Asal kau tahu, meskipun
Ilwaki sudah memiliki listrik yang bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya
(PLTS), tapi kekuatan yang masih relatif terbatas membuat negeri ini bercahaya
hanya pada saat-saat tertentu saja. Selebihnya, haha gelap :D.
Yap, aku masih di negeri
rantau. Suara azan itu berasal dari handphone ku. Satu desahan tertahan keluar
dari mulutku, ahh jujur aku rindu rumahku, tapi aku tersenyum tipis, “oh ya,
bukankah hari ini hari libur dan aku akan segera berangkat ke Ambon, asiiik
^_^”. Akupun membangunkan Sri. Matanya yang masih terkantuk-kantuk segera
mengikutiku menuju kamar mandi. Untunglah kamar mandi kami berada di dalam
rumah, tidak seperti rumah lainnya. Tak terbayangkan dalam otakku jika setiap
subuh kami harus merasakan berada dalam film horor. Ahh, bukankah sudah
kuberitahu padamu kawan, negeri ini bertuah, kisah seram dan rupa-rupa
kengerian yang biasa dipertontonkan di televisi, ada di sini. Bahkan, saat
kamar mandi sudah di dalam rumah saja, sesekali kami merasakan ada orang yang
mengintip dari celah pintu di samping rumah. Memang pintu kami masih berupa
susunan papan sehingga masih ada celah diantaranya. Cukup untuk sekedar
mengintip dari luar sana. Kadang juga, dalam sepinya subuh yang gelap gulita,
kami mendengar langkah kaki yang diseret di antara bebatuan yang sengaja
diletakkan di sekeliling rumah. Hiiy, seram bukan.
Masih dalam dunia kegelapan,
kami sholat subuh berjamaah. Terbata-bata Sri melantunkan iqamah dan aku
menjadi imamnya. Sepinya suasana subuh kadang membuat bulu kudukku merinding.
Meskipun suara-suara aneh di luar sana tetap terdengar aku mencoba mengabaikannya.
Bahkan aku mengeraskannya agar makhluk apapun itu segera pergi karena takut.
haha.
Selesai sholat dan membaca
qur’an beberapa ayat, akupun kembali tidur. Hehe, kebiasaanku tidak bisa
hilang. Entahlah, kepalaku sakit dan seharian aku akan pusing jika tidak
melakukannya. Biarpun ibuku telah memarahiku setidaknya 4 sks setiap hari hanya
untuk masalah betapa tidak baiknya tidur setelah subuh, aku tetap melakukannya.
Maafkan aku ibu :D
Tidak lama berselang sayup-sayup kudengar suara ribut, sepertinya suara Kak
Nur. Ohh, benar. Kak Nur sambil berlari-lari kecil berteriak memanggil namaku.
“Ibu guru ... Ibu... kapal su sandar, ibu guru seng jadi pi ambon kah?”.
Memang sejak semalam aku sudah memberitahu Mama, Kak Nur, Sri, dan Tete bahwa
aku akan menghabiskan liburan di Ambon dengan menumpang kapal Kinei, kapal
khusus barang yang difungsikan untuk menampung manusia juga. Tapi, tak kusangka
kapal datang secepat ini. Tanpa ambil tempo, aku langsung cuci muka, gosok gigi, dan berganti tanpa mandi.
Yup... Tanpa mandi... Aku tak ambil pusing dengan bauku yang belum mandi sejak pagi kemaren hihi yang penting aku tidak ingin ketinggalan kapal saat ini. Pengalaman ketinggalan kapal
sudah terlalu dalam menyisakan luka untukku haha. Dan hari ini aku tak sudi
mengulang kisah yang sama. Aku bersama Bapak Melki,
tetangga kami yang biasa memberi tumpangan dengan motornya, bergegas menuju pelabuhan. Jangan kau
pikir pelabuhan seperti yang ada di kota-kota, bukan. Aku lebih suka
menyebutnya dermaga. Bagaimana tidak, tempat itu hanya sanggup menampung satu
kapal berukuran besar. Jika ada kapal yang akan masuk, maka kapal lain harus
bergeser dulu ke tengah laut karena tidak muat. Atau ngetem dulu sampai kapal
yang ada di dermaga beringsut pergi.
Diperjalanan menuju dermaga, kami berselisih
dengan beberapa penduduk yang kembali
dari dermaga. Mereka bilang itu bukan kapal kinei tapi
kapal lain.
Kami tetap ke pelabuhan untuk memastikan. Sesampainya di dermaga ternyata kapal itu memang bukan kapal
kinei. Dalam hati aku lega, tak kubayangkan bagaimana bauku pagi itu jika ku tetap berangkat. Terima kasih ya Allah. Kamipun kembali pulang untuk mandi, makan, dan menyiapkan
bekal.
Jam 9 aku sudah di dermaga lagi. Setengah
jam kemudian kapal kinei datang. Dari jauh kupandangi kapal ini. Ternyata benar cerita
mama dan guru-guru di sekolah. Yah, memang guru-guru dan mama berat melepasku
pergi dengan kapal ini. Mereka bilang kapal kinei tidak bagus dan jika aku
menaikinya maka aku akan menderita di perjalanan. Bahkan mereka bilang, mungkin
aku tidak akan sanggup naik kapal itu. Beuh, kau tahu, semangatku malah semakin
membara saat mereka meragukan kemampuanku. Aku memang kecil dan terlihat lemah,
tapi jika mereka bisa akupun bisa hoho.
Semangatku sedikit ciut saat
melihat kapal ini mulai merapat ke dermaga. Tak
seperti km sabuk, kapal kinei tidak menyediakan tempat tidur. Kapal yang berukuran lebih
kecil ini hanya memiliki satu lantai. Di atasnya ditutupi terpal
untuk melindungi dari panas dan hujan. Lebih mirip tenda pengungsian korban
bencana alam. Manusia begitu banyak di atasnya. Pun barang-barang juga ditumpuk
tinggi. Dan disela barang-barang itu, orang-orang menggelar tikar sesukanya. Dan sempat kulihat di sana juga terikat
beberapa ekor kambing. Oh mamae... Bang Leo, teman sepenempatanku, sempat
menanyakan keyakinanku untuk menaiki kapal ini sendiri. Sebenarnya aku mulai
ragu, tapi ya sudahlah aku sudah di sini. Dan aku ingin liburan di negeri yang
ada sinyalnya T_T.
Beberapa saat aku hanya
terdiam di dermaga. Aku bingung bagaimana caranya naik ke kapal. Kapalnya
bergoyang begitu keras karena gelombang darat yang cukup kuat. Hei, ini sudah
musim barat, musim di saat lautan bergejolak dan menggoyangkan benda-benda di
atasnya. Tidak ada jembatan, tidak ada tali. Orang-orang hanya melompat langsung
ke bibir kapal. Untung saja aku memakai celana bukan rok. Haha. Dan aku juga
bingung bagaimana caraku nanti tidur saat malam. Kau tahu, perjalanan dari
Ilwaki menuju Ambon membutuhkan setidaknya seminggu perjalanan laut. Dalam
kebingunganku, aku mendengar seseorang memanggilku, “ibu guru... Ibu guru”.
Akupun menoleh, terlihat di sana ibu paruh baya menggunakan kerudung hitam
melambai ke arahku. Wajahnya belum pernah kulihat. Sepertinya bukan penduduk
Ilwaki. “Ibu guru berangkat kah?”. Akupun tersenyum seraya mengangguk. “Ibu
guru di dekat beta sa, di sini masih ada tempat par ibu guru”. Dalam hati aku
bersyukur. Akupun melompat ke kapal sambil dipegangi oleh perempuan baik itu.
Sedikit saja kakiku melesat, aku akan jatuh ke pangkuan lautan. Di sela rasa
legaku, aku merasa heran. Bagaimana ibu ini tahu aku seorang guru. Aku sempat
menanyakan hal ini. Dan dengan santai si ibu berkata “beta lihat ibu pung
jilbab, katong su tau, kalau ada anak muda berjilbab dan berkulit putih itu
pasti ibu guru dari jawa”. Aku tersenyum simpul mendengarnya. Ups, ini bukan
pertama kalinya orang-orang mengira aku ibu guru dari jawa. Dan kau tahu, aku
sampai bosan ingin mengklarifikasi bahwa aku bukan dari Jawa tapi dari Padang.
Belakangan aku baru tahu, bagi mereka, orang Maluku Barat Daya, siapapun
pendatang dari luar sana mereka anggap orang Jawa. Yap, siapapun.
Aku bersyukur, perempuan
berkerudung yang senang dipanggil Bibi Zainab ini sudah membawa tikar. Di
sekeliling tikarnya ditumpuk kardus supermi sebagai pembatas dengan yang lain.
Bibi Zainab memperlakukanku layaknya putri kandungnya. Dia memberiku makan dan
menjagaku. Bahkan aku juga sempat melihat dia menyelimutiku. Padahal aku baru
saja mengenalnya. Saat kapal sandar di Pulau Kisar, Bibi Zainab memberiku Lemon
Kisar, jeruk berukuran cukup besar yang sangat manis. Puas aku memakannya. Bersama Bibi Zainab
kuhabiskan hari itu.
Malam jam 23:30 WIT kapalpun sandar di pelabuhan Kaiwatu, Pulau Moa. Sedihnya
aku, saat aku tahu Bibi Zainab turun di sini. Sesaat Bibi melihatku dan
menimbang. Di saat yang sama terdengar pengumuman bahwa kapal akan melanjutkan
perjalanannya esok jam 9 pagi. Bibi pun tersenyum dan berkata “ibu Desi, ikut
deng beta sa, ikut ke camp tempat bet tinggal. Besok pagi beta antar ke kapal
lagi”. Belum sempat aku menjawab, Bibi Zainab sudah meminta putranya mengangkat
ranselku. Jadilah aku hanya bisa mengikuti langkahnya. Ahh, tidak apa-apa, toh
sama saja, lagipula aku tertarik melihat bagaimana pulau Moa, tempat kota
kabupaten ditempatkan, seperti apakah tempat ini??
Dengan sepeda motor kamipun
menuju camp yang disebut-sebut Bibi Zainab. Diperjalanan aku disambut pesta
kembang api. Kulihat di langit bertaburan kembang api warna-warni. Oh ya, aku
baru ingat, ini sudah lewat jam 00.00 WIT. Artinya sudah tanggal 25 desember,
hari natal. Ini pertama kalinya aku melihat pesta kembang api saat malam.
Ternyata memang indah.
Setelah tak ada lagi kembang
api di langit, aku baru sadar betapa jeleknya jalanan yang kami tempuh. Belum
ada aspal. Hanya tanah merah yang dibuka untuk jalanan. Di kiri-kanan masih
banyak semak belukar. Sesekali kami harus menghindari lubang bekas terpuruknya
roda mobil truk yang sangat licin bila hujan turun. Semua itu membuat
perjalanan terasa begitu lama. Sesekali kulihat rumah penduduk. Awalnya ramai,
makin ke ujung hanya tersisa satu-satu. Dan di tempat yang tidak ada cahaya
sama sekali, motor yang kutumpangi berhenti. Terlihat di sana tiang-tiang kayu
yang masih terpancang. Sebagian sudah dipasangi papan sebagai dinding, sebagian
lagi belum. Untunglah sudah ada atap di bagian yang memiliki dinding. Pekerjaan
suami Bibi Zainab adalah kontraktor perusahaan kayu. Pekerjaan ini membuatnya
harus berpindah-pindah. Inilah yang membuat mereka lebih memilih membuat camp
sementara dibandingkan rumah permanen. Tidak ada wc, apalagi kamar mandi. Tidak
ada lampu. Hanya ada lentera buatan kecil dari sebilah besi yang diisi kain dan
diletakkan pada kaleng sarden yang sudah diisi minyak tanah. Aku sempat ingin
buang air kecil. Melihatku bingung, Bibi Zainab menuntunku menuju dua bilah
papan yang diletakkan agak jarang. Dan di sanalah mereka biasanya buang air
kecil. Untunglah malam gelap gulita, kalau tidak... T-T. Semuanya sangat-sangat
sederhana. Tapi lihatlah kesederhanaan ini berbanding terbalik dengan hati
mereka. Sungguh, hati mereka sangat kaya. Mereka memuliakanku layaknya raja.
Mereka sangat paham arti pepatah tamu adalah raja.
Keesokan harinya Bibi Zainab
mengajakku mandi di sungai. Tidak ada pilihan lain, tak ada sumur di sana,
apalagi kamar mandi. Gontai aku mengikuti langkah bibi menuju rimbunya hutan,
cukup jauh masuk ke hutan, kudengar bunyi gemerisik air. Tak sabar, akupun
bergegas mendekati bunyi tersebut. Wah, setibanya di bibir sungai aku terpaku
melihat jernihnya air sungai di kelilingi pepohonan yang tinggi-tinggi. Tidak
ada sampah, bening sampai aku rasanya ingin meminum langsung air itu. Sesekali
burung-burung hutan bersahut-sahutan. Aku yang tahu akan mandi di sungai sudah
siap sedia dengan kain sarung andalanku. Dengan cepat akupun mandi. Beruntung
tidak ada yang lewat. Kulihat bibi masih sibuk mandi. Beberapa saat setelah aku
berpakaian lengkap, tiba-tiba rumput di sebelah hilir sungai bergoyang. Aku dan
bibi Zainab saling menatap. Nafasku tertahan. Seorang lelaki berbadan tegap,
berkulit hitam, dengan pandangan tajam mendekat ke arah kami. Dengan santainya
melewati kami. Oh, sepertinya dia ingin mandi juga. Dia mencari tempat yang
lebih tinggi. Setelah dia berlalu aku baru sadar, bukankah bibi masih mandi??!!
Sebelum jam sembilan di pagi
itu, Bibi Zainab sudah sibuk menyiapkan bekal untuk perjalananku. Sekali lagi
aku heran. Kenapa sih, dia begitu baik pada orang yang baru dikenalnya.
Bukankah aku bukan siapa-siapa. Saudara se-Maluku saja tidak. Dengan santai
Bibi Zainab berkata “katong juga perantau ibu guru, katong harap nanti jika
anak cucu katong pi mana-mana, akan ada orang baik yang menolong dong jua”.
Salut!!
Kekagumanku tidak berhenti
sampai di sana. Setibanya kami di pelabuhan Kaiwatu, mama memegangku erat. Dia
menuntunku memasuki kapal seraya memanggil seorang ibu yang sepertinya beberapa
tahun lebih tua dari umur bibi Zainab. Belakangan aku baru tahu, Bibi Zainab
meminta ibu ini untuk menjagaku selama di perjalanan menuju Seumlaki, Pulau
lain tempat tujuan sang ibu. Bibi Zainab juga meminta abk kapal untuk
membantuku jika aku membutuhkan sesuatu. Tak kusangka begitu sayangnya Bibi
Zainab kepadaku. Terima Kasih Bibi.
Perjalananku pun berlanjut.
Kapal bergerak cepat membelah lautan menuju pemberhentian selanjutnya,
Saumlaki. Saumlaki sudah bukan lagi kawasan dalam Kabupaten Maluku Barat Daya.
Saumlaki termasuk dalam Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Selama di perjalanan
aku menikmati pemandangan berupa hamparan permadani biru membentang dan
sesekali tampak pulau-pulau kecil di tengah lautan. Sungguh damai mata
memandang. Dalam perjalanan ini aku merasakan betapa kayanya Indonesia. Untuk
kawasan MBD ini saja bisa kita temui ribuan pulau-pulau kecil apalagi seluruh
Indonesia. Sesekali aku melihat lumba-lumba saling kejar mengejar di dasar
kapal mengikuti laju kapal. Mereka memperlihatkan pertunjukan yang sangat
memukau. Mereka saling bersahut-sahutan, seolah-olah bergembira karena bertemu
dengan makhluk darat seperti kami. Jika malam telah gelap, akan kami nikmati
pemandangan ikan terbang. Ya, ikan terbang!!! Aku tidak membual, mereka
benar-benar terbang. Kalau kau tak percaya, coba saja datang ke sana haha.
Tubuh mereka memancarkan cahaya sehingga saat mereka terbang, kami seolah
melihat cahaya-cahaya kecil meloncat-loncat kian kemari. Sungguh, setiap saat
aku terkagum-kagum pada kehebatan Sang Pencipta. Wajar saja, agama Islam
memerintahkan umatnya untuk merantau sejauh-jauhnya, ya untuk satu tujuan,
semakin banyak kita melalui daerah dengan keadaan alam dan kekhasan yang
menakjubkan maka semakin banyak jugalah rasa syukur dan rasa penghambaan kita
di hadapan Sang Pencipta yang Maha Hebat.
Malampun datang, kapal
semakin dekat dengan Pelabuhan Saumlaki. Hatiku dag, dig, dug. Bagaimana tidak,
dari awal aku memang sudah tahu kalau kapal Kinei ini berlayar hanya sampai di
Saumlaki, setelah itu kapal akan naik dok, karena alasan musim gelombang besar
sudah datang. Aku telah berencana menaiki kapal Pangrango untuk melanjutkan ke
Ambon. Betapa terkejutnya aku mendengar kabar bahwa kapal Pangrango terakhir
telah berangkat menuju Ambon. Pikiranku buntu, waduh bagaimana nasibku. ABK
kapal yang melihatku kebingungan menyarankanku untuk mencari informasi lebih
lanjut ke pusat informasi, Syahbandar Saumlaki. Ternyata berita itu benar, dan
parahnya kapal-kapal lain juga mendapat larangan berlayar karena gelombang
tinggi yang tidak memungkinkan untuk berlayar. Akupun memutar otak. Kabarnya
kapal-kapal lain baru akan berlayar paling cepat tiga hari kemudian. Oh, tidak
mungkin!! Dimana aku akan menetap??!! Salah seorang mualim kapal menyarankan
padaku untuk menaiki pesawat saja. Untunglah Saumlaki sudah maju. Di sana sudah
ada bandara kecil. Dan setiap hari beberapa pesawat kecil beroperasi. Dengan
modal nekat aku memutuskan untuk menggunakan pesawat karena hanya ini
satu-satunya transportasi yang bisa aku gunakan.
Permasalahanku belum selesai.
Aku memang tahu di pulau ini ada bandara. Aku pikir di bandara mereka akan
menjual tiket pesawat seperti layaknya bus atau kapal haha. Pagi harinya aku
bersiap menuju bandara. Melihatku bergegas menuju jalan raya, ibu-ibu yang
menemaniku sebelumnya menawarkan diri mencarikan ojek untukku. Kamipun menunggu
di tepi jalan. Lama kami memandangi keramaian mobil yang lalu lalang. Sesekali
kami melihat orang mengendarai motor. Tidak ada tanda-tanda tukang ojek.
Huft... Gawat nih. Tiba-tiba seorang pemuda yang mengendarai motor mendekat.
Kontan ibu yang menemaniku bertanya, “ojek kah?”. Awalnya si pemuda hanya diam,
sekilas melihatku dan jaket SM3T yang aku kenakan. Kemudian dia mengangguk.
Lantas kami memintanya mengantarkanku ke bandara. Si pemuda membuka penutup
helm nya dan berkata, “su punya tiket kah?”. Aku diam. “kalau seng ada tiket
biar bet antar ke tempat jual tiket dolo”. Untunglah sang ibu langsung
mengangguk dan meminta si pemuda mengantarku ke tempat penjualan tiket. Tak ada
rasa curiga saat itu. Dalam pikiranku hanya satu, bagaimana supaya aku cepat
sampa di ambon haha. Untunglah saat itu aku tidak teringat kisah penculikan
ataupun kejahatan terhadap perempuan yang berjalan sendiri. Dan untunglah di
negeri Maluku ini, kisah seperti itu tidak pernah kutemui.
Sesampainya di tempat
penjualan tiket yang ternyata tidak terlalu jauh dari pelabuhan, aku dapati
sebuah rumah dengan kaca-kaca dipenuhi tempelan reklame pesawat komersial.
Gerbang dan pintunya masiih tertutup. Aku coba mengetuk, tapi tak ada jawaban.
Aku melihat jam di tanganku, ups masih jam 8 WIT. Sepertinya kantor belum buka.
Akupun mendekati pemuda yang mengantarku dan menanyakan berapa ongkos ojeknya.
Mungkin aku akan menunggu kantornya buka, membeli tiket, kemudian mencari ojek
baru untuk mengantarku. Rencana yang sederhana, pikirku. Tapi, si pemuda
melihatku ragu. “bagaimana kalau kaka istirahat dolo di tempat beta kerja, biar
nanti beta yang carikan tiketnya, beta pung saudara yang kerja di sini”. Wah,
boleh juga, lagian aku nggak tahu kapan kantor ini buka, dan menunggu d sini
bisa jadi adalah tindakan bodoh, pikirku. Akupun mengangguk. Entah mengapa aku
percaya pada pemuda ini. Tidak ada kesan jahat dari sikap dan cara bicaranya.
Biasanya aku akan curiga pada orang baru yang kukenal. Tapi, 4 bulan sudah aku
berada di Ilwaki, rasa curiga lama-kelamaan menghilang karena begitu tulusnya
budi baik orang-orang di sekitarku.
Akupun sampai di sebuah
counter pulsa. Aku sedikit kaget. Dengan sedikit tersenyum sang pemuda berkata,
“kaka, sebenarnya bet bukan tukang ojek, bet cuma mau nolong kaka sa, tadi bet
kasian liat kaka jadi bet bantu sa”. Haa!! Seketika aku ternganga. Lah kok
gitu. Wah, enak juga ya punya wajah polos dan lugu sepertiku. Pantas saja di
sepanjang perjalananku banyak sekali orang yang dengan suka rela membantuku.
Pertanyaanku terjawab, ternyata wajah dan postur tubuhku yang kecil membuat
mereka kasihan padaku hihi.
Di sana kulihat beberapa
gambar dinding. Aku langsung tahu, si pemuda adalah penganut protestan.
Lihatlah, dia tak sungkan membantuku meski dia tahu aku penganut agama islam.
Berulang kali hal ini terjadi. Di sini, di Maluku, kutemui indahnya kasih
sayang dan keikhlasan membantu tanpa melihat agama yang di anut. Bukankah ini
ajaran agamaku yang sesungguhnya. Aku teringat tentang kebaikan hati nabi
Muhammad kepada pemeluk agama lain. Hei, kau ingat bukan? Nabi setiap hari
memberikan makanan kepada si bapak tua yang buta meskipun nabi tahu dia bukan
pemeluk agama Islam. Indahnya... Sungguh indah...
Setelah beberapa jam
beristirahat, diapun mendapatkan tiket pesawat untukku. Lumayan mahal. RP.
900.000,00. Ahh, sudahlah. Aku tak punya jalan lain. Pesawat berangkat hari itu
juga pada pukul 15.00 WIT. Jam 12.00 WIT, kami meluncur menuju bandara. Butuh
waktu lebih kurang satu jam perjalanan. Jalanan yang kurang bagus membuat
pinggangku terasa linu. Untung aku hanya membawa satu buah ransel. Tak
terbayang olehku jika aku membawa barang lebih banyak dari itu.
Sesampai di bandara, sang
pemuda inipun menemaniku menunggu pesawat yang akan berangkat 2 jam lagi.
Kamipun bercakap-cakap ringan. Ternyata dia 4 tahun lebih muda dariku. Dia
masih kuliah jurusan komputer. Sambil kuliah dia membuka usaha perbaikan
komputer dan pengisian pulsa. Hebat! Dia langsung mempraktekkan apa saja yang
dipelajarinya di kampus. Dengan uang hassil usaha inilah dia membayar uang
kuliahnya. Dia memang bertekad untuk tidak lagi meminta uang kepada orang
tuannya. Dan kau tahu, dia juga berencana membuka usaha jual beli panel tenaga
surya ke pulau-pulau kecil di MTB. Wah, anak muda yang berpikiran maju. Semoga
sukses adek nyong!!
Saat keberangkatankupun tiba,
adek nyong membantu adminstrasiku. Dan tidak segan-segan mengatakan kalau aku
adalah kakak nya haha. Sungguh terima kasih banyak adek nyong!
Bagaimanalah aku tidak akan
terpukau dengan negeri ini. Bahkan saat aku berjalan sendiri sejauh itu, tidak
ada sepercik kekhawatiran dalam hatiku. Karena aku tahu, kemanapun aku melangkah
di negeri manise ini, kebaikan hati dan ketulusan penduduknya tidak pernah
meninggalkanku. Kau tahu apa senjata rahasiaku?? Jaket SM3T dan jilbab. Cukup
dengan menggunakan dua benda sakral ini, semua orang, tua dan muda akan tahu
aku adalah seorang guru. Dan kau tahu, di negeri yang terkenal dengan kekerasan
watak dan tempramen yang mudah meledak ini, guru adalah insan mulia yang sangat
mereka hargai dan hormati. Mereka lebih mendengarkan kata-kata seorang guru
daripada tentara ataupun pejabat. Bahkan mereka lebih takut pada kemarahan guru
meskipun guru tidak memegang senjata layaknya polisi dan tentara. Karena mereka
tahu, gurulah yang akan membantu mereka keluar dari ketidaktahuan. Guru jugalah
yang akan membantu mencerdaskan anak-anak mereka dan membawa mereka menuju
kehidupan yang lebih baik. Sungguh, satu tahun aku mengabdi di sana, aku bangga
dan bahagia menjadi seorang guru di mata mereka.
Kalwedo......