22 Januari 2017

Danau Tihu, Surga Yang Jatuh ke Bumi

 OLEH: Desmaiyanti, S.Pd., Gr
“Surga yang jatuh ke bumi”, begitulah seorang Nadine Chandrawinata yang sempat menginjakkan kaki di tanah Kalwedo ini, menggambarkan rasa kagumnya. Ibarat permata yang bertaburan di lautan membentuk pulau-pulau kecil nan indah. Daratan-daratan yang istimewa. Bukan hanya karena pesona keindahan yang memuaskan mata tetapi juga cerita-cerita unik yang menyertainya. Setiap tempat menyajikan cerita rakyat yang tidak pernah dilupakan masyarakat. Diceritakan turun temurun sebagai kekayaan budaya. Dan di sana akupun mendapatkan cerita itu, ya di sana di Pulau Wetar. 
 Pulau Wetar, istimewa karena mengambang menjadi daratan paling besar di antara pulau-pulau lainnya. Kupikir luasnya hampir sama dengan Singapura, ahh sudahlah kalaupun tidak, jangan kau pikirkan hehe... Pulau ini berhadapan langsung dengan negara tetangga kita Timor Leste. Negara yang pernah menjadi keluarga kita. Bahkan konon kabarnya serumpun dengan masyarakat Wetar. Dan katanya juga bahasa yang mereka pakai, mirip dengan bahasa di Pulau Wetar. Saat udara tenang, angin teduh, ombak bergerak teratur, dan langit cerah tak berawan, nampaklah di depan sana, daratan asing itu. Membentang begitu panjang. Dan bila malam tiba, kerlap kerlip keindahan kota saat malam hari bisa kita saksikan. Ya, kota di negara tetangga. Saat kita alihkan pandangan ke daratan di mana kita berpijak, waaaah berbeda 180 derajat, hanya satu kata yang terpikirkan, gelap cuy!  

Kegelapan malam yang mencekam akan segera sirna saat mentari pagi mulai mengintip di ufuk timur seiring dengan kokokan ayam yang berniat melakukan satu-satunya hal berguna yang bisa dilakukannya selain mengganggu dan berak. Aih... Saat sinar mengusir pekat, saat itu keindahan tersaji di mana-mana. Membuat siapa saja tersenyum memulai hari yang mungkin akan berat. 

Di tengah-tengah pulau akan kau dapati keindahan danau dengan air bening yang jika kau lihat dari kejauhan berwarna hijau toska. Danau Tihu. Danau yang cukup luas berdindingkan perbukitan yang menjulang tinggi. Di sana bersusun air terjun-air terjun yang belum tersentuh. Alami dan masih perawan. Di salah satu sisi terdapat pulau kecil bernama Pulau Ibu. Pulau yang tidak pernah tenggelam meski air meluap. Di sana-sini berdiri lembah-lembah dipenuhi pepohonan berusia tua. Siapa sangka di balik semua keindahan ini, hampir semua warga takut mendekati dan menghabiskan hari untuk sekedar piknik di sana. Memang danau ini agak menyeramkan. Konon kabarnya, danau ini adalah rumahnya ratusan buaya-buaya yang beranak pinak dengan tenang. Banyak warga yang telah menyaksikan sendiri kehadiran buaya-buaya ini. Pulau ini memang terkenal memiliki banyak buaya. Mulai dari yang berukuran kecil sampai yang super besar. Dari yang berkepala satu sampai yang berkepala dua dan hebatnya lagi juga ada buaya putih. We a we waw!!  

Suburnya koloni buaya ini disebabkan karena adanya larangan berburu dan membunuh buaya. Di negeri ini, bila sembarangan membunuh buaya, akibat buruk akan segera datang. Bahkan katanya, kita akan meninggal layaknya buaya yang kita bunuh. 

 
Berbagai mitos mengiringi kehadiran buaya-buaya ini. Dan semuanya berhubungan dengan kisah asal mula terbentuknya Danau Tihu. Ada banyak kisah yang kudengar, salah satunya yang akan aku ceritakan padamu. Dengarlah aku berkisah, begini ceritanya :D


Dahulu kala, di Pulau Wetar hiduplah beberapa raksasa yang selalu mengganggu kehidupan masyarakat. Semua orang resah dan ketakutan. Tidak berani kemana-mana. Ketakutan ini disaksikan oleh dua orang kakak beradik yang memiliki ilmu tenaga dalam yang luar biasa. Mereka memiliki seorang ibu yang telah renta. Setiap hari mereka berlatih dan menambah kekuata untuk melawan raksasa-raksasa itu. Tibalah saat yang ditunggu-tunggu. Berdua mereka mengerahkan segenap kemampuan untuk memusnahkan pengganggu yang meresahkan itu. Ternyata lawan mereka sangat tangguh. Mereka akhirnya memutuskan mengorbankan diri mereka. Mereka mengeluarkan air yang sangat besar hingga menenggelamkan raksasa-raksasa itu. 

Namun, sebelum itu mereka menyelamatkan ibu mereka di sebuah daratan tinggi. Saat air telah menggenang daratan ini tidak pernah terbenam, dan akirnya dinamakan pulau ibu. Saat raksasa-raksasa itu tidak mampu lagi bertahan merekapun musnah. Kedua adik kakak ini pun masuk ke dalam air dan tak pernah kembali. Konon kabarnya mereka berubah menjadi buaya putih. Oleh karena itu, di sana tidak boleh membunuh buaya sembarangan karena mereka percaya buaya-buaya itu adalah jelmaan nenek moyang mereka. 

Dan buaya-buaya yang sekarang jumlahnya tidak bisa dihitung itu bisa dipanggil oleh tuan tanah yang memiliki hubungan keluarga dengan kakak beradik tadi. Saat mereka memanggil, buaya-buaya itu akan datang berbaris tanpa mengganggu manusia yang ada di sekitar mereka. Dan memang buaya-buaya itu tidak pernah menggigit manusia sembarangan. Hanya orang-orang yang memiliki niat jahat yang akan menjadi korban. Begitulah cerita rakyat yang dipercaya di sana. Layaknya cerita rakyat, meskipun tidak ada yang bia membuktikan kebenarannya, masyarakat tetap saja menceritakannya secara turun temurun kepada anak cucunya. Entahlah.


Read More

Mamaku Di Negeri Manise

 OLEH: Desmaiyanti, S.Pd.,Gr
Beberapa hari yang lalu, sekitar jam 4 pagi ibu membangunkanku. Memang malamnya aku sudah bilang bahwa esok aku ingin berpuasa. Ibu datang dengan sepiring nasi di tangannya. Antara sadar dan tidak, akupun langsung duduk tanpa membuka mataku. Ibu langsung menyuapiku yang setengah tidur. Akupun membuka mulut dan menelannya tanpa sungkan. Lihatlah betapa sayangnya ibu padaku. Kasih sayang inilah yang teramat aku rindukan di negeri rantau.

Tapi untunglah aku menemukan kasih sayang itu di sana, Di negeri manise.Saat itu aku memang kurang enak badan. Dimulai dengan tenggorokanku sakit dan tulang-tulang yang ngilu. Paginya kepalaku sudah terasa pusing dan perutku kurang enak serasa mau muntah. Karena aku selama ini jarang sakit, aku mengabaikan rasa sakit itu. “Ah, nanti saat ketemu siswa pasti sakitnya hilang”, pikirku. Memang biasanya saat kepalaku pusing atau perutku sakit, pertemuan dengan siswa-siswaku di dalam kelas cukup menjadi obat mujarab. Tapi ternyata sampai waktu jam pelajaran berakhir dan anak-anak kembali ke rumah, sakit di kepalaku tak juga reda. Badanku terasa hangat. Air liurpun terasa tawar. Ngilu di persendian semakin menjadi. Segera kulangkahkan kaki menuju rumah keluarga piaraku.

Sesampai di rumah aku langsung berbaring. Mataku panas bahkan nafasku juga. Mama yang sudah menungguku untuk makan siang di dapur sedikit heran melihatku tak kunjung datang ke dapur. Mamapun datang ke kamar dan terkejut melihatku berbaring tidak seperti biasanya. Mamapun meraba keningku. Wajahnya langsung cemas dan bergegas ke dapur, memanaskan air untuk mengompresku. Dalam tidurku, aku tahu saat itu mama melihatku lama. Seharian mama bolak balik ke kamarku melihat apakah panasku sudah turun atau belum. Saat aku terbangun betapa kagetnya aku melihat mama ada di sampingku. Dengan suara bergetar dan hampir menangis, mama berkata “sio kasiane ibu guru sakit, yang mana yang sakit ibu?”. 

Pandangan matanya teduh, seketika aku melihat ibuku di dalam matanya. Hampir saja aku menangis saat itu. Untunglah aku mendapatkan kasih sayang mama saat aku begitu merindukan ibu. Akupun kembali tertidur. Dan tahukah kau, saat aku tertidur, mama sudah bergegas menuju rumah bidan untuk memintanya datang ke rumah memeriksaku. Saat tahu ibu bidan belum pulang, mama memutuskan untuk mengantarkanku ke puskesmas. Saat itu mama tidak peduli dengan kue dagangannya. Dia tidak peduli dengan cucunya yang belum makan sepulang sekolah. Yang ada dalam fikirannya, bagaimana agar aku tidak lagi menderita karena sakit. Aku tidak pernah membayangkan mendapat perhatian yang begitu besar dari orang lain. Terima kasih mama untuk kasih sayang itu, terima kasih...
Read More

20 Januari 2017

Selamat, GGD 2 Segera Diangkat Jadi CASN 2017

Kabar Gembira bagi para peserta Guru Garis Depan GGD angkatan 2, dimana sebentar lagi akan diangkat menjadi ASN. Jika akhir tahun 2016 kemarin telah diumumkan sebanyak 6.296 Peserta yang dinyatakan lulus seleksi GGD dan telah mengikuti Bimtek. Dan walaupun ada sedikit keraguan mengenai waktu pengumumannnya, namun sudah menemui titik terang. 
Kepastian ini yaitu dengan disetujui oleh Presiden Joko Widodo pengangkatan Guru Garis Depan menjadi CASN dalam Rapat Terbatas (Ratas) hari Rabu, 18 Januari 2017. Hal senada diungkapkan oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Prof. Muhadjir Effendy dalam Rapat Kerja (Raker) Komisi X DPR RI, Kamis 19 Januari 2017 berikut: “Sebanyak 6.296 guru garis depan yang diseleksi tahun lalu, sudah bisa diangkat pegawai CASN tahun ini, ini diputuskan dalam ratas kemarin” .

Dengan disetujuinya GGD angkatan 2 menjadi CASN, maka para peserta akan ditempatkan di daerah 3T (terdepan, terluar dan tertinggal). Sehingga dapat memenuhi kebutuhan guru di daerah 3t. Program ini merupakan salah satu program Presiden Jokowi dalam percepatan Pembangunan di daerah 3T, yakni dalam hal Sumber Daya Manusia. Dimana membangun Indonesia yang merupakan Kepulauan Besar dimulai dari luar perbatasan.

Sementara Dirjen Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kemdikbud, Sumarna Surapranata menyatakan bahwa jumlah GGD yang akan diangkat menjadi CPNS itu mencapai 6.296 orang. Nantinya akan ditempatkan di 93 kabupaten diseluruh Indonesia. Dirjen GTK menjamin bahwa SK-TMT (tanggal mulai tugas) CPNS GGD keluar 1 Januari 2017.

Untuk info lebih lengkap klik disini
Read More

Yudisium PPG SM-3T Universitas Negeri Padang Angkatan IV Tahun 2017

Universitas Negeri Padang merupakan salah satu mitra yang dipercaya Permerintah Pusat sebagai penyelenggara Program Pendidikan Profesi Guru Pasca SM-3T (Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal). Dimana menurut UU No 14 Tahun 2005 Tentang Guru Dan Dosen, yang pada intinya para guru sebagai tenaga pendidik wajib disertifikasi dan berhak mendapatkan tunjangan profesi sesuai UU yang berlaku. Saat ini telah melewati masa transisi 10 tahun UU No 14 Tahun 2005, oleh sebab itu untuk menjadi guru harus mengikuti Pendidikan Profesi Guru.
PPG SM-3T Fakultas Ilmu Sosial (FIS) Foto Bersama Dekan, Pengelola PPG dan Ketua Jurusan
Dengan berakhirnya kegiatan Ujian Tulis Nasional yang diselenggarakan oleh Ristek Dikti secara Nasional, maka LPTK UNP dapat melaksanakan Yudisium. Peserta PPG SM-3T Angkatan IV telah resmi diwisuda pada hari Kamis, 19 Januari 2017 oleh Rektor Universitas Negeri Padang Prof. Drs, Ganefri, P.hd. Acara Yudisium ini dihadiri oleh Wakil rector 1, 2, dan 3, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat, Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang, Dekan, dan Ketua Jurusan masing-masih jurusan peserta PPG SM-3T 2016. 

Dalam rangkaian acara, para peserta PPG disumpah oleh rektor UNP bahwasannya dapat menjunjung tinggi kode etik sebagai guru dan mengamalkan  Ikrar Guru Indonesia. Dilanjutkan  dengan membacakan Ikrar Guru Indonesia. Dalam sambutannya rektor Universitas Negeri Padang berpesan bahwa Para Alumni PPG supaya siap mengabdi bagi Nusa dan Bangsa. Menguasai IPTEK yang selalu cepat mengalami perubahan. 

 Sebagai aset Bangsa dan Guru Masa Depan Indonesia, alumni Pendidikan Profesi Guru supaya tidak selalu berharap menjadi Pegawai Negeri Sipil, tetapi dapat juga mengabdi diberbagai yayasan sekolah Swasta. Mendidik di sekolah swasta juga dapat menerima tunjangan profesi sesuai dengan UU No 14 Tahun 2005. Walaupun  para Peserta PPG SM-3T akan dijanjikan mengikuti tes PNS jalur Afirmasi di darerah 3T. Demikian juga selama mengabdi dapat menjadi sosok guru teladan, dengan bersikap sebagai guru prfesional. Untuk wisuda PPG SM-3T angkatan 4 menurut rektor ada kelebihannya dari angkatan sebelumnya, dimana saat ini Akreditasi UNP adalah A. Hal ini akan mempengaruhi kualitas pendidikan di UNP. 

Setelah lulus Pendidikan Profesi Guru, maka para peserta berhak mendapatkan gelar Guru (Gr) Profesional. Para Alumni Pendidikan Profesi Guru ini, akan mengukir prestasi dan mengabdi pada Bangsa khususnya di daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal. Mencerdaskan Generasi Penerus Indonesia, dalam menyongsong Bonus Demografi yang akan dialami Indonesia 20 hingga 30 tahun mendatang.

Read More

18 Januari 2017

Ibu Godha, Kartini dari Ilwaki, Maluku Barat Daya

OLEH: Desmaiyanti
Ibu Godha bersama para siswa/i
Selama di tempat pengabdian SM-3T, tak jarang aku bertemu dengan orang-orang yang unik dan menyenangkan. Itulah keberuntungan yang selalu aku syukuri. Aku dapat belajar banyak dari mereka tentang hidup dan kehidupan. Salah satunya si ibu manis dari Sumba, Ibu Godha. Ibu Godha adalah salah satu guru di SMA N 1 Ilwaki, tempat tugasku. Senyumnya yang manis akan membuatmu yakin, ibu yang satu ini baik hati. Tebakanmu benar. Dialah yang banyak membantuku membaur dengan masyarakat.

Selain baik hati, Ibu Godha juga sangat berdedikasi dan sepenuh hati mendidik dan membina sikap siswa. Selain sebagai guru mata pelajaran bahasa indonesia, ibu Godha juga dipercaya sebagai guru BK, yang mengurusi siswa bermasalah. Ibu Godha tak pernah tanggung-tanggung jika tahu seorang siswa melakukan pelanggaran meskipun kenakalan yang dilakukan di luar sekolah. Dengan sigap dia mencari informasi dari warga bahkan orang tua hingga akhirnya menyelesaikan masalah siswa dan memberikan hukuman yang pantas agar siswa jera. Ibu Godha memang terlihat lemah lembut, tapi dibalik kelembutannya tersimpan ketegasan yang tak pandang bulu. 

Ibu godha adalah guru yang menyenangkan dibalik sikapnya yang tegas dan keras serta berpegang pada kata-kata "diujung rotan ada emas". Aku sempat merinding waktu pertama kali bu Godha mengucapkan kata-kata itu sembari memukulkan rotan ke meja dihadapan siswa. Awalnya aku menganggap bu Godha terlalu keras dan kejam tetapi ternyata bu Godha adalah guru yang paling lembut dan menyenangkan. Bahkan bu Godha paling sering bercanda dan bergurau denganku.

Ibu Godha juga sering membuatku terpukau dengan keputusannya. Dia akan berfikir berulangkali jika harus berpesiar dan meninggalkan siswa. Meskipun untuk melahirkan anaknya. Memang saat aku datang, ibu Godha tengah hamil 6 bulan. Tinggal beberapa bulan lagi menunggu kelahiran anaknya. Biasanya, guru akan mengambil cuti 1 bulan sebelum melahirkan, tapi ibu Godha tak terlihat bersiap-siap mengambil cuti dan pergi ke rumah sakit di Kupang. Ya, Kupang adalah salah satu tempat tujuan jika ibu-ibu hamil siap melahirkan karena fasilitas kesehatan di Ilwaki belum memadai jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

Sampai sehari sebelum melahirkan, Ibu Godha tetap datang ke sekolah. Ibu manis yang hobi menjadikan paku payung besar sebagai tusuk konde di rambutnya ini selalu membuatku ternganga karena kekerasan hatinya. Meski sudah berulangkali guru-guru yang lain memintanya untuk cuti, dia dengan santainya bilang “nanti saja, kasihan anak-anak mau ujian”. 

Aku masih ingat hari itu, hari kamis, 4 desember 2014, saat itu sedang diadakan ujian semester. Sambil memegangi pinggangnya, Ibu Godha terlihat beberapa kali naik dan turun jenjang yang tingginya kira-kira 4 meter. Aku sedikit bingung dengan apa yang dilakukannya. Setelah berkeringat dan capek turun naik jenjang, Ibu Godha bukannya duduk dan istirahat malah mondar mandir tak karuan. Katanya kalo duduk pinggang dan punggungnya sakit. Aku yang saat itu juga lagi stres, entah aku juga lupa stres karena apa, juga ikut-ikutan mondar mandir nggak jelas. Jadilah, guru-guru lain hanya tersenyum dan geleng-geleng melihat tingkah kami. Kemanapun ibu Godha berjalan aku dengan setia mengikutinya. Haha.

Malamnya sekitar jam 10 malam Ibu Godha tak mampu lagi kembali ke dalam rumah setelah kembali buang air kecil di kamar mandinya yang berada di dapur. Perutnya mulai memberikan tanda-tanda akan melahirkan. Dia hanya duduk di dapur dan meminta suaminya membawa air hangat, kain, dan, gunting. Jadilah malam itu dia melahirkan di dapur. Seorang bayi laki-laki berat 3,3 kg. Wajahnya mirip sekali ibu Godha.  

Rasa salutku tak pernah habis untuk ibu Godha. Sampai hari terakhirpun dia tetap datang ke sekolah. Wujud guru yang sesungguhnya kulihat darinya. Meski perut sudah besar dan badan sudah sakit bu Godha tak pernah sekalipun kulihat tak datang ke sekolah. Karakter bu Godha sangat menginspirasi. Sangat jarang kita temui guru-guru sekarang yang mau tetap ke sekolah saat hamil tua. Akupun bertekad menjadi seorang guru yang menginspirasi sepertinya. Tulus dan sepenuh hati berkorban untuk siswa yang amat dicintainya. Jika orang bilang guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa, wujud itu dengan terang kulihat darinya. Jika orang bilang, jangan mengutuki kegelapan tetapi mulailah menyalakan lilin, ibu Godha telah lama menyalakan lilin itu. Kecil namun terang menerangi hati-hati yang haus akan ilmu pengetahuan dan kasih sayang. Semoga aku bisa mengikuti kesungguhan hati si Ibu manis dari Sumba ini.
Read More

17 Januari 2017

Tapak Tilas Menuju Ambon

OLEH: Desmaiyanti, S.Pd., Gr

Rabu, 24 desember 2014“Allahu akbar allahu akbar”, aku tersentak mendengar lantunan azan subuh. Dengan mata masih terpejam, aku menikmati suara nan indah itu. Sesaat aku merasa berada di kampung, di rumahku tepatnya. Aku menunggu ibuku yang biasanya membuka pintu kamar dan membangunkanku. Lama kutunggu, namun yang ditunggu tidak kunjung datang. Perlahan kubuka mataku, gelap. Hanya ada seberkas cahaya di langit-langit ruangan sebelah. Seperti biasa, Kak Nur menghidupkan senter kecilnya menghadap ke atas. Karena tidak ada plafon yang membatasi langit-langit antar ruangan, satu sinar cukup menerangi kami di dalam satu rumah. Asal kau tahu, meskipun Ilwaki sudah memiliki listrik yang bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), tapi kekuatan yang masih relatif terbatas membuat negeri ini bercahaya hanya pada saat-saat tertentu saja. Selebihnya, haha gelap :D. 
 
Yap, aku masih di negeri rantau. Suara azan itu berasal dari handphone ku. Satu desahan tertahan keluar dari mulutku, ahh jujur aku rindu rumahku, tapi aku tersenyum tipis, “oh ya, bukankah hari ini hari libur dan aku akan segera berangkat ke Ambon, asiiik ^_^”. Akupun membangunkan Sri. Matanya yang masih terkantuk-kantuk segera mengikutiku menuju kamar mandi. Untunglah kamar mandi kami berada di dalam rumah, tidak seperti rumah lainnya. Tak terbayangkan dalam otakku jika setiap subuh kami harus merasakan berada dalam film horor. Ahh, bukankah sudah kuberitahu padamu kawan, negeri ini bertuah, kisah seram dan rupa-rupa kengerian yang biasa dipertontonkan di televisi, ada di sini. Bahkan, saat kamar mandi sudah di dalam rumah saja, sesekali kami merasakan ada orang yang mengintip dari celah pintu di samping rumah. Memang pintu kami masih berupa susunan papan sehingga masih ada celah diantaranya. Cukup untuk sekedar mengintip dari luar sana. Kadang juga, dalam sepinya subuh yang gelap gulita, kami mendengar langkah kaki yang diseret di antara bebatuan yang sengaja diletakkan di sekeliling rumah. Hiiy, seram bukan. 

Masih dalam dunia kegelapan, kami sholat subuh berjamaah. Terbata-bata Sri melantunkan iqamah dan aku menjadi imamnya. Sepinya suasana subuh kadang membuat bulu kudukku merinding. Meskipun suara-suara aneh di luar sana tetap terdengar aku mencoba mengabaikannya. Bahkan aku mengeraskannya agar makhluk apapun itu segera pergi karena takut. haha.

Selesai sholat dan membaca qur’an beberapa ayat, akupun kembali tidur. Hehe, kebiasaanku tidak bisa hilang. Entahlah, kepalaku sakit dan seharian aku akan pusing jika tidak melakukannya. Biarpun ibuku telah memarahiku setidaknya 4 sks setiap hari hanya untuk masalah betapa tidak baiknya tidur setelah subuh, aku tetap melakukannya. Maafkan aku ibu :D

Tidak lama berselang sayup-sayup kudengar suara ribut, sepertinya suara Kak Nur. Ohh, benar. Kak Nur sambil berlari-lari kecil berteriak memanggil namaku. “Ibu guru ... Ibu... kapal su sandar, ibu guru seng jadi pi ambon kah?”. Memang sejak semalam aku sudah memberitahu Mama, Kak Nur, Sri, dan Tete bahwa aku akan menghabiskan liburan di Ambon dengan menumpang kapal Kinei, kapal khusus barang yang difungsikan untuk menampung manusia juga. Tapi, tak kusangka kapal datang secepat ini. Tanpa ambil tempo, aku langsung cuci muka, gosok gigi, dan berganti tanpa mandi. Yup... Tanpa mandi... Aku tak ambil pusing dengan bauku yang belum mandi sejak pagi kemaren hihi yang penting aku tidak ingin ketinggalan kapal saat ini. Pengalaman ketinggalan kapal sudah terlalu dalam menyisakan luka untukku haha. Dan hari ini aku tak sudi mengulang kisah yang sama. Aku bersama Bapak Melki, tetangga kami yang biasa memberi tumpangan dengan motornya, bergegas menuju pelabuhan. Jangan kau pikir pelabuhan seperti yang ada di kota-kota, bukan. Aku lebih suka menyebutnya dermaga. Bagaimana tidak, tempat itu hanya sanggup menampung satu kapal berukuran besar. Jika ada kapal yang akan masuk, maka kapal lain harus bergeser dulu ke tengah laut karena tidak muat. Atau ngetem dulu sampai kapal yang ada di dermaga beringsut pergi.

Diperjalanan menuju dermaga, kami berselisih dengan beberapa penduduk yang kembali dari dermaga. Mereka bilang itu bukan kapal kinei tapi kapal lain. Kami tetap ke pelabuhan untuk memastikan. Sesampainya di dermaga ternyata kapal itu memang bukan kapal kinei. Dalam hati aku lega, tak kubayangkan bagaimana bauku pagi itu jika ku tetap berangkat. Terima kasih ya Allah. Kamipun kembali pulang untuk mandi, makan, dan menyiapkan bekal. 

Jam 9 aku sudah di dermaga lagi. Setengah jam kemudian kapal kinei datang. Dari jauh kupandangi kapal ini. Ternyata benar cerita mama dan guru-guru di sekolah. Yah, memang guru-guru dan mama berat melepasku pergi dengan kapal ini. Mereka bilang kapal kinei tidak bagus dan jika aku menaikinya maka aku akan menderita di perjalanan. Bahkan mereka bilang, mungkin aku tidak akan sanggup naik kapal itu. Beuh, kau tahu, semangatku malah semakin membara saat mereka meragukan kemampuanku. Aku memang kecil dan terlihat lemah, tapi jika mereka bisa akupun bisa hoho. 

Semangatku sedikit ciut saat melihat kapal ini mulai merapat ke dermaga. Tak seperti km sabuk, kapal kinei tidak menyediakan tempat tidur. Kapal yang berukuran lebih kecil ini hanya memiliki satu lantai. Di atasnya ditutupi terpal untuk melindungi dari panas dan hujan. Lebih mirip tenda pengungsian korban bencana alam. Manusia begitu banyak di atasnya. Pun barang-barang juga ditumpuk tinggi. Dan disela barang-barang itu, orang-orang menggelar tikar sesukanya. Dan sempat kulihat di sana juga terikat beberapa ekor kambing. Oh mamae... Bang Leo, teman sepenempatanku, sempat menanyakan keyakinanku untuk menaiki kapal ini sendiri. Sebenarnya aku mulai ragu, tapi ya sudahlah aku sudah di sini. Dan aku ingin liburan di negeri yang ada sinyalnya T_T.  

Beberapa saat aku hanya terdiam di dermaga. Aku bingung bagaimana caranya naik ke kapal. Kapalnya bergoyang begitu keras karena gelombang darat yang cukup kuat. Hei, ini sudah musim barat, musim di saat lautan bergejolak dan menggoyangkan benda-benda di atasnya. Tidak ada jembatan, tidak ada tali. Orang-orang hanya melompat langsung ke bibir kapal. Untung saja aku memakai celana bukan rok. Haha. Dan aku juga bingung bagaimana caraku nanti tidur saat malam. Kau tahu, perjalanan dari Ilwaki menuju Ambon membutuhkan setidaknya seminggu perjalanan laut. Dalam kebingunganku, aku mendengar seseorang memanggilku, “ibu guru... Ibu guru”. Akupun menoleh, terlihat di sana ibu paruh baya menggunakan kerudung hitam melambai ke arahku. Wajahnya belum pernah kulihat. Sepertinya bukan penduduk Ilwaki. “Ibu guru berangkat kah?”. Akupun tersenyum seraya mengangguk. “Ibu guru di dekat beta sa, di sini masih ada tempat par ibu guru”. Dalam hati aku bersyukur. Akupun melompat ke kapal sambil dipegangi oleh perempuan baik itu. Sedikit saja kakiku melesat, aku akan jatuh ke pangkuan lautan. Di sela rasa legaku, aku merasa heran. Bagaimana ibu ini tahu aku seorang guru. Aku sempat menanyakan hal ini. Dan dengan santai si ibu berkata “beta lihat ibu pung jilbab, katong su tau, kalau ada anak muda berjilbab dan berkulit putih itu pasti ibu guru dari jawa”. Aku tersenyum simpul mendengarnya. Ups, ini bukan pertama kalinya orang-orang mengira aku ibu guru dari jawa. Dan kau tahu, aku sampai bosan ingin mengklarifikasi bahwa aku bukan dari Jawa tapi dari Padang. Belakangan aku baru tahu, bagi mereka, orang Maluku Barat Daya, siapapun pendatang dari luar sana mereka anggap orang Jawa. Yap, siapapun. 

Aku bersyukur, perempuan berkerudung yang senang dipanggil Bibi Zainab ini sudah membawa tikar. Di sekeliling tikarnya ditumpuk kardus supermi sebagai pembatas dengan yang lain. Bibi Zainab memperlakukanku layaknya putri kandungnya. Dia memberiku makan dan menjagaku. Bahkan aku juga sempat melihat dia menyelimutiku. Padahal aku baru saja mengenalnya. Saat kapal sandar di Pulau Kisar, Bibi Zainab memberiku Lemon Kisar, jeruk berukuran cukup besar yang sangat manis. Puas aku memakannya. Bersama Bibi Zainab kuhabiskan hari itu.

Malam jam 23:30 WIT kapalpun sandar di pelabuhan Kaiwatu, Pulau Moa. Sedihnya aku, saat aku tahu Bibi Zainab turun di sini. Sesaat Bibi melihatku dan menimbang. Di saat yang sama terdengar pengumuman bahwa kapal akan melanjutkan perjalanannya esok jam 9 pagi. Bibi pun tersenyum dan berkata “ibu Desi, ikut deng beta sa, ikut ke camp tempat bet tinggal. Besok pagi beta antar ke kapal lagi”. Belum sempat aku menjawab, Bibi Zainab sudah meminta putranya mengangkat ranselku. Jadilah aku hanya bisa mengikuti langkahnya. Ahh, tidak apa-apa, toh sama saja, lagipula aku tertarik melihat bagaimana pulau Moa, tempat kota kabupaten ditempatkan, seperti apakah tempat ini??

Dengan sepeda motor kamipun menuju camp yang disebut-sebut Bibi Zainab. Diperjalanan aku disambut pesta kembang api. Kulihat di langit bertaburan kembang api warna-warni. Oh ya, aku baru ingat, ini sudah lewat jam 00.00 WIT. Artinya sudah tanggal 25 desember, hari natal. Ini pertama kalinya aku melihat pesta kembang api saat malam. Ternyata memang indah.

Setelah tak ada lagi kembang api di langit, aku baru sadar betapa jeleknya jalanan yang kami tempuh. Belum ada aspal. Hanya tanah merah yang dibuka untuk jalanan. Di kiri-kanan masih banyak semak belukar. Sesekali kami harus menghindari lubang bekas terpuruknya roda mobil truk yang sangat licin bila hujan turun. Semua itu membuat perjalanan terasa begitu lama. Sesekali kulihat rumah penduduk. Awalnya ramai, makin ke ujung hanya tersisa satu-satu. Dan di tempat yang tidak ada cahaya sama sekali, motor yang kutumpangi berhenti. Terlihat di sana tiang-tiang kayu yang masih terpancang. Sebagian sudah dipasangi papan sebagai dinding, sebagian lagi belum. Untunglah sudah ada atap di bagian yang memiliki dinding. Pekerjaan suami Bibi Zainab adalah kontraktor perusahaan kayu. Pekerjaan ini membuatnya harus berpindah-pindah. Inilah yang membuat mereka lebih memilih membuat camp sementara dibandingkan rumah permanen. Tidak ada wc, apalagi kamar mandi. Tidak ada lampu. Hanya ada lentera buatan kecil dari sebilah besi yang diisi kain dan diletakkan pada kaleng sarden yang sudah diisi minyak tanah. Aku sempat ingin buang air kecil. Melihatku bingung, Bibi Zainab menuntunku menuju dua bilah papan yang diletakkan agak jarang. Dan di sanalah mereka biasanya buang air kecil. Untunglah malam gelap gulita, kalau tidak... T-T. Semuanya sangat-sangat sederhana. Tapi lihatlah kesederhanaan ini berbanding terbalik dengan hati mereka. Sungguh, hati mereka sangat kaya. Mereka memuliakanku layaknya raja. Mereka sangat paham arti pepatah tamu adalah raja. 

Keesokan harinya Bibi Zainab mengajakku mandi di sungai. Tidak ada pilihan lain, tak ada sumur di sana, apalagi kamar mandi. Gontai aku mengikuti langkah bibi menuju rimbunya hutan, cukup jauh masuk ke hutan, kudengar bunyi gemerisik air. Tak sabar, akupun bergegas mendekati bunyi tersebut. Wah, setibanya di bibir sungai aku terpaku melihat jernihnya air sungai di kelilingi pepohonan yang tinggi-tinggi. Tidak ada sampah, bening sampai aku rasanya ingin meminum langsung air itu. Sesekali burung-burung hutan bersahut-sahutan. Aku yang tahu akan mandi di sungai sudah siap sedia dengan kain sarung andalanku. Dengan cepat akupun mandi. Beruntung tidak ada yang lewat. Kulihat bibi masih sibuk mandi. Beberapa saat setelah aku berpakaian lengkap, tiba-tiba rumput di sebelah hilir sungai bergoyang. Aku dan bibi Zainab saling menatap. Nafasku tertahan. Seorang lelaki berbadan tegap, berkulit hitam, dengan pandangan tajam mendekat ke arah kami. Dengan santainya melewati kami. Oh, sepertinya dia ingin mandi juga. Dia mencari tempat yang lebih tinggi. Setelah dia berlalu aku baru sadar, bukankah bibi masih mandi??!!
Sebelum jam sembilan di pagi itu, Bibi Zainab sudah sibuk menyiapkan bekal untuk perjalananku. Sekali lagi aku heran. Kenapa sih, dia begitu baik pada orang yang baru dikenalnya. Bukankah aku bukan siapa-siapa. Saudara se-Maluku saja tidak. Dengan santai Bibi Zainab berkata “katong juga perantau ibu guru, katong harap nanti jika anak cucu katong pi mana-mana, akan ada orang baik yang menolong dong jua”. Salut!!

Kekagumanku tidak berhenti sampai di sana. Setibanya kami di pelabuhan Kaiwatu, mama memegangku erat. Dia menuntunku memasuki kapal seraya memanggil seorang ibu yang sepertinya beberapa tahun lebih tua dari umur bibi Zainab. Belakangan aku baru tahu, Bibi Zainab meminta ibu ini untuk menjagaku selama di perjalanan menuju Seumlaki, Pulau lain tempat tujuan sang ibu. Bibi Zainab juga meminta abk kapal untuk membantuku jika aku membutuhkan sesuatu. Tak kusangka begitu sayangnya Bibi Zainab kepadaku. Terima Kasih Bibi.

Perjalananku pun berlanjut. Kapal bergerak cepat membelah lautan menuju pemberhentian selanjutnya, Saumlaki. Saumlaki sudah bukan lagi kawasan dalam Kabupaten Maluku Barat Daya. Saumlaki termasuk dalam Kabupaten Maluku Tenggara Barat. Selama di perjalanan aku menikmati pemandangan berupa hamparan permadani biru membentang dan sesekali tampak pulau-pulau kecil di tengah lautan. Sungguh damai mata memandang. Dalam perjalanan ini aku merasakan betapa kayanya Indonesia. Untuk kawasan MBD ini saja bisa kita temui ribuan pulau-pulau kecil apalagi seluruh Indonesia. Sesekali aku melihat lumba-lumba saling kejar mengejar di dasar kapal mengikuti laju kapal. Mereka memperlihatkan pertunjukan yang sangat memukau. Mereka saling bersahut-sahutan, seolah-olah bergembira karena bertemu dengan makhluk darat seperti kami. Jika malam telah gelap, akan kami nikmati pemandangan ikan terbang. Ya, ikan terbang!!! Aku tidak membual, mereka benar-benar terbang. Kalau kau tak percaya, coba saja datang ke sana haha. Tubuh mereka memancarkan cahaya sehingga saat mereka terbang, kami seolah melihat cahaya-cahaya kecil meloncat-loncat kian kemari. Sungguh, setiap saat aku terkagum-kagum pada kehebatan Sang Pencipta. Wajar saja, agama Islam memerintahkan umatnya untuk merantau sejauh-jauhnya, ya untuk satu tujuan, semakin banyak kita melalui daerah dengan keadaan alam dan kekhasan yang menakjubkan maka semakin banyak jugalah rasa syukur dan rasa penghambaan kita di hadapan Sang Pencipta yang Maha Hebat. 

Malampun datang, kapal semakin dekat dengan Pelabuhan Saumlaki. Hatiku dag, dig, dug. Bagaimana tidak, dari awal aku memang sudah tahu kalau kapal Kinei ini berlayar hanya sampai di Saumlaki, setelah itu kapal akan naik dok, karena alasan musim gelombang besar sudah datang. Aku telah berencana menaiki kapal Pangrango untuk melanjutkan ke Ambon. Betapa terkejutnya aku mendengar kabar bahwa kapal Pangrango terakhir telah berangkat menuju Ambon. Pikiranku buntu, waduh bagaimana nasibku. ABK kapal yang melihatku kebingungan menyarankanku untuk mencari informasi lebih lanjut ke pusat informasi, Syahbandar Saumlaki. Ternyata berita itu benar, dan parahnya kapal-kapal lain juga mendapat larangan berlayar karena gelombang tinggi yang tidak memungkinkan untuk berlayar. Akupun memutar otak. Kabarnya kapal-kapal lain baru akan berlayar paling cepat tiga hari kemudian. Oh, tidak mungkin!! Dimana aku akan menetap??!! Salah seorang mualim kapal menyarankan padaku untuk menaiki pesawat saja. Untunglah Saumlaki sudah maju. Di sana sudah ada bandara kecil. Dan setiap hari beberapa pesawat kecil beroperasi. Dengan modal nekat aku memutuskan untuk menggunakan pesawat karena hanya ini satu-satunya transportasi yang bisa aku gunakan. 

Permasalahanku belum selesai. Aku memang tahu di pulau ini ada bandara. Aku pikir di bandara mereka akan menjual tiket pesawat seperti layaknya bus atau kapal haha. Pagi harinya aku bersiap menuju bandara. Melihatku bergegas menuju jalan raya, ibu-ibu yang menemaniku sebelumnya menawarkan diri mencarikan ojek untukku. Kamipun menunggu di tepi jalan. Lama kami memandangi keramaian mobil yang lalu lalang. Sesekali kami melihat orang mengendarai motor. Tidak ada tanda-tanda tukang ojek. Huft... Gawat nih. Tiba-tiba seorang pemuda yang mengendarai motor mendekat. Kontan ibu yang menemaniku bertanya, “ojek kah?”. Awalnya si pemuda hanya diam, sekilas melihatku dan jaket SM3T yang aku kenakan. Kemudian dia mengangguk. Lantas kami memintanya mengantarkanku ke bandara. Si pemuda membuka penutup helm nya dan berkata, “su punya tiket kah?”. Aku diam. “kalau seng ada tiket biar bet antar ke tempat jual tiket dolo”. Untunglah sang ibu langsung mengangguk dan meminta si pemuda mengantarku ke tempat penjualan tiket. Tak ada rasa curiga saat itu. Dalam pikiranku hanya satu, bagaimana supaya aku cepat sampa di ambon haha. Untunglah saat itu aku tidak teringat kisah penculikan ataupun kejahatan terhadap perempuan yang berjalan sendiri. Dan untunglah di negeri Maluku ini, kisah seperti itu tidak pernah kutemui. 

Sesampainya di tempat penjualan tiket yang ternyata tidak terlalu jauh dari pelabuhan, aku dapati sebuah rumah dengan kaca-kaca dipenuhi tempelan reklame pesawat komersial. Gerbang dan pintunya masiih tertutup. Aku coba mengetuk, tapi tak ada jawaban. Aku melihat jam di tanganku, ups masih jam 8 WIT. Sepertinya kantor belum buka. Akupun mendekati pemuda yang mengantarku dan menanyakan berapa ongkos ojeknya. Mungkin aku akan menunggu kantornya buka, membeli tiket, kemudian mencari ojek baru untuk mengantarku. Rencana yang sederhana, pikirku. Tapi, si pemuda melihatku ragu. “bagaimana kalau kaka istirahat dolo di tempat beta kerja, biar nanti beta yang carikan tiketnya, beta pung saudara yang kerja di sini”. Wah, boleh juga, lagian aku nggak tahu kapan kantor ini buka, dan menunggu d sini bisa jadi adalah tindakan bodoh, pikirku. Akupun mengangguk. Entah mengapa aku percaya pada pemuda ini. Tidak ada kesan jahat dari sikap dan cara bicaranya. Biasanya aku akan curiga pada orang baru yang kukenal. Tapi, 4 bulan sudah aku berada di Ilwaki, rasa curiga lama-kelamaan menghilang karena begitu tulusnya budi baik orang-orang di sekitarku. 

Akupun sampai di sebuah counter pulsa. Aku sedikit kaget. Dengan sedikit tersenyum sang pemuda berkata, “kaka, sebenarnya bet bukan tukang ojek, bet cuma mau nolong kaka sa, tadi bet kasian liat kaka jadi bet bantu sa”. Haa!! Seketika aku ternganga. Lah kok gitu. Wah, enak juga ya punya wajah polos dan lugu sepertiku. Pantas saja di sepanjang perjalananku banyak sekali orang yang dengan suka rela membantuku. Pertanyaanku terjawab, ternyata wajah dan postur tubuhku yang kecil membuat mereka kasihan padaku hihi. 

Di sana kulihat beberapa gambar dinding. Aku langsung tahu, si pemuda adalah penganut protestan. Lihatlah, dia tak sungkan membantuku meski dia tahu aku penganut agama islam. Berulang kali hal ini terjadi. Di sini, di Maluku, kutemui indahnya kasih sayang dan keikhlasan membantu tanpa melihat agama yang di anut. Bukankah ini ajaran agamaku yang sesungguhnya. Aku teringat tentang kebaikan hati nabi Muhammad kepada pemeluk agama lain. Hei, kau ingat bukan? Nabi setiap hari memberikan makanan kepada si bapak tua yang buta meskipun nabi tahu dia bukan pemeluk agama Islam. Indahnya... Sungguh indah...

Setelah beberapa jam beristirahat, diapun mendapatkan tiket pesawat untukku. Lumayan mahal. RP. 900.000,00. Ahh, sudahlah. Aku tak punya jalan lain. Pesawat berangkat hari itu juga pada pukul 15.00 WIT. Jam 12.00 WIT, kami meluncur menuju bandara. Butuh waktu lebih kurang satu jam perjalanan. Jalanan yang kurang bagus membuat pinggangku terasa linu. Untung aku hanya membawa satu buah ransel. Tak terbayang olehku jika aku membawa barang lebih banyak dari itu. 

Sesampai di bandara, sang pemuda inipun menemaniku menunggu pesawat yang akan berangkat 2 jam lagi. Kamipun bercakap-cakap ringan. Ternyata dia 4 tahun lebih muda dariku. Dia masih kuliah jurusan komputer. Sambil kuliah dia membuka usaha perbaikan komputer dan pengisian pulsa. Hebat! Dia langsung mempraktekkan apa saja yang dipelajarinya di kampus. Dengan uang hassil usaha inilah dia membayar uang kuliahnya. Dia memang bertekad untuk tidak lagi meminta uang kepada orang tuannya. Dan kau tahu, dia juga berencana membuka usaha jual beli panel tenaga surya ke pulau-pulau kecil di MTB. Wah, anak muda yang berpikiran maju. Semoga sukses adek nyong!!
Saat keberangkatankupun tiba, adek nyong membantu adminstrasiku. Dan tidak segan-segan mengatakan kalau aku adalah kakak nya haha. Sungguh terima kasih banyak adek nyong! 

Bagaimanalah aku tidak akan terpukau dengan negeri ini. Bahkan saat aku berjalan sendiri sejauh itu, tidak ada sepercik kekhawatiran dalam hatiku. Karena aku tahu, kemanapun aku melangkah di negeri manise ini, kebaikan hati dan ketulusan penduduknya tidak pernah meninggalkanku. Kau tahu apa senjata rahasiaku?? Jaket SM3T dan jilbab. Cukup dengan menggunakan dua benda sakral ini, semua orang, tua dan muda akan tahu aku adalah seorang guru. Dan kau tahu, di negeri yang terkenal dengan kekerasan watak dan tempramen yang mudah meledak ini, guru adalah insan mulia yang sangat mereka hargai dan hormati. Mereka lebih mendengarkan kata-kata seorang guru daripada tentara ataupun pejabat. Bahkan mereka lebih takut pada kemarahan guru meskipun guru tidak memegang senjata layaknya polisi dan tentara. Karena mereka tahu, gurulah yang akan membantu mereka keluar dari ketidaktahuan. Guru jugalah yang akan membantu mencerdaskan anak-anak mereka dan membawa mereka menuju kehidupan yang lebih baik. Sungguh, satu tahun aku mengabdi di sana, aku bangga dan bahagia menjadi seorang guru di mata mereka.
Kalwedo......

Read More

16 Januari 2017

Di Atas Bebatuan Dekat Sarang Buaya

OLEH: Desmaiyanti, S. Pd.,Gr
“Ibu guru... Ibu guru... Ibu guru tidur kah?”, akupun terbangun dari tidur siangku saat mendengar suara pelan yang memanggil dari samping rumah keluarga piaraku. Suara yang sangat pelan tetapi selalu aku nantikan. Kubuka mataku, sesaat akupun tersenyum seraya membatin “kemana lagi ya mereka akan mengajakku?”. Aku tidak segera bangkit untuk menemui pemilik suara-suara kecil itu. Usil, aku malah menunggu mereka memanggiku lagi. “Ibu guru...”, suara itu kembali terdengar. Akupun menyahut tak kalah pelan “iya, bagaimana tu?”. Terdengar suara tawa beberapa anak remaja. Akupun membuka pintu. Di sana terlihat Fitri, Mada, dan Onal tersenyum melihatku. Mereka adalah murid-murid kesayanganku. Mereka selalu mengajakku ke sana ke mari untuk melepas rasa jenuh di negeri yang minim hiburan seperti Ilwaki ini. Entahlah, mereka selalu punya cara. Dan aku bersyukur karena kehadiran mereka.

Siang itu mereka mengajakku ke pantai tak jauh dari rumah. Pantai di dekat kelokan tajam Ilpoi. Aku sering melewati kelokan itu bila beruntung mendapat tumpangan motor untuk pulang atau pergi sekolah. Setiap aku melewatinya, hatiku selalu berdecak kagum karena keindahan yang disajikan pemandangan lepas pantai tanpa pasir. Yah, asal kau tahu, bila kebanyakan pantai di pulau-pulau kawasan Maluku Barat Daya didominasi pantai berpasir putih, berbeda dengan Ilwaki, hampir semua pantainya dipenuhi bebatuan dan kerikil kecil. Berbagai jenis bebatuan ada di sana. Berkah tersendiri bagi penduduknya. Kandungan emas pada bebatuan membuat beberapa perusahaan memberikan kesempatan kepada warga untuk menjual batu-batu dengan karakteristik tertentu. Ada batu merah, putih, bahkan hitam. Mereka membelinya dengan harga yang bervariasi. Mulai dari Rp. 1000/kg sampai Rp.5000/kg. Lihatlah betapa pemurahnya sang pencipta kepada negeri ini. Bayangkan saja, mereka tidak perlu menanam, membersihkan, atau memberi pupuk layaknya petani yang akan menjual hasil panen. Mereka hanya perlu membungkuk, menajamkan mata, lalu memilih dengan hati-hati bebatuan yang bertaburan di sepanjang bibir pantai di Ilwaki. Aku pernah menemani mama dan Kak Nur mencari batu. Memang benar, bebatuan itu berkilau di dalam air laut nan jernih. Satu persatu batu merah itupun terkumpul. Setiap hari mereka mengumpulkannya namun batu-batu itu tak pernah habis. Ajaib. 

Siang itu langkah-langkah kecil kami terhenti di depan bongkahan batu besar yang berada di dekat jurang tepat di tikungan tajam Ilpoi. Perlu melewati sedikit jalan bersemak yang agak curam agar sampai di bebatuan besar itu. Mereka saling berpandangan. Aku tahu maksudnya, mereka agak ragu melihatku yang memakai rok ini bisa menuju ke sana. “Ibu guru jang pi sana, katong taku ibu guru jatuh”, serempak mereka menghalangiku. Dengan langkah pasti, akupun meninggalkan mereka. Aku memang sudah biasa melewati jalan-jalan yang sulit dengan rokku. Tenang, aku selalu memakai training jadi no problem. Mereka hanya geleng-geleng kepala melihatku yang tanpa takut memanjati batu besar yang agak licin itu.  Akhirnya akupun sampai. Betapa takjubnya aku melihat pemandangan lepas pantai yang begitu indah. Deburan ombak yang langsung pecah di bawah kakiku berubah menjadi buih-buih bening layaknya mutiara. Air laut terkumpul di cekungan yang terbentuk dari gabungan batu-batu besar di bibir laut. Cekungannya membentuk wadah melengkung selangkah kaki orang dewasa. Membuat air terkumpul sejenak saat air laut surut. Airnya hijau karena pantulan lumut-lumut yang melekat di dasar bebatuan. Aku sempat menghulurkan kakiku, duduk di atas batu, menyentuhkan jemariku di air laut yang datang dan pergi. Airnya begitu sejuk. Sesekali kulihat ikan-ikan kecil terperangkap di cekungan itu saat air surut dan kembali bebas saat air kembali ke pantai. 

Fitri, Mada, dan Onal pun menyusulku. Kekhawatiran terlihat jelas di wajah mereka. Tak ingin sesuatu hal yang buruk menimpaku. Ya, begitulah mereka, selalu menjagaku. Melihatku tersenyum lepas memandang ke arah lautan bebas, merekapun duduk di sampingku. Fitri mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Kulihat benda bulat hijau sebesar dua kali kepalan orang dewasa. Baunya yang khas langsung menggoda indra penciumanku. Wah, mangaa :D

Dengan sigap Mada mengupas mangga raksasa itu. Sebenarnya aku sedikit ragu dengan rasanya. Lidah orang Maluku berbeda dengan lidahku. Pernah suatu kali kami berburu mangga di kebun warga. Semua anak-anak dengan semangat mengajakku. Mereka mengatakan bahwa mangga-mangga di kampung sudah banyak yang masak. Dan rasanya juga manis. Setelah sampai di kebun aku hanya bisa tercengang karena mangga-mangga itu masih muda. Mereka dengan lahapnya memakan mangga-mangga yang masih hijau itu. Tidak ada raut wajah pertanda mangga itu asam. Akupun mencobanya. Saat satu sayatan mangga itu menyentuh lidahku barulah aku sadar ternyata manis yang mereka katakan itu sangat berbeda dengan manis yang selama ini aku rasakan. Cukup satu gigitan yang kupaksakan untuk menelan. Dan sejak hari itu aku tidak lagi percaya begitu saja kalau mereka menawarkan buah mangga. Hehe. 

Sama halnya dengan mangga raksasa itu, aku ragu untuk memakannya. Tapi, Fitri berapi-api mengatakan kalau mangga ini berbeda. Mangga ini sangat manis. “Ibu guru boleh potong bet pung daon telinga ni kalo ibu rasa asam”. Mendengar keyakinan Fitri akupun mencobanya. Ternyata benar, manis. Kamipun menikmati mangga itu sembari menghabiskan senja di atas bebatuan itu. Bertukar cerita tentang kegalauan mereka. Sedikit memberi petuah dan membakar semangat. Matahari yang terbenam mengeluarkan sinar jingga menjadi saksi pertemuan kecil kami sore itu. Indah tak terperi.

Keesokan harinya, Fitri, Mada, dan Onal berlari ke arahku. Wajah mereka pucat pasi. Mereka bergantian bercerita, “ibu, bet bapa bilang tempat katong main kemaren tu, tempat bermain buaya kalau sore ibu. Orang-orang dong seng pernah ada yang main di sana ibu.” Jeng!!!. Bagai petir menyambar. Huft... Untunglah kami tidak bertemu dengan para buaya itu. Dan lebih beruntung lagi, kami adalah orang pertama yang menikmati indahnya suasana sore di Ilwaki dari tempat bermainnya para buaya hehe.
Read More

Bolehkah Aku Menangis Sekarang Ayah? (Kisah Pilu Guru SM-3T Mengabdi di Maluku Barat Daya)

OLEH: Desmaiyanti[1]
“Apakah saudara siap untuk tidak pulang meskipun orang tua saudara meninggal dunia”. Itulah pertanyaan mengerikan dalam wawancara program SM3T yang selalu terngiang-ngiang di telingaku. Saat itu aku menjawab dengan suara bergetar, “ya, saya siap, karena saya yakin mereka menginginkan saya melunasi janji pengabdian saya di negeri orang”. Dalam hati saya berdoa semoga tidak ada kisah duka di tengah pengabdian ini. Bayangkan betapa menyedihkannya tak bisa lagi melihat wajah ibu atau ayah saat terakhir kalinya. Dan hanya bisa melihat gundukan tanah tempat beristirahatnya. 
 
Sesampai di rumah, aku menceritakan semua pertanyaan pewawancara. Ya, semua. Bahkan pertanyaan yang mengerikan itu. Sempat kutatap wajah ayahku, tenang, setenang desaku saat pagi menjelang. Tak ada sepatah katapun komentar darinya. Satu hal yang aku tahu. Tidak ada yang akan meninggal. Ayah dan ibuku akan baik-baik saja di sini di rumah ini. Dalam pikiranku ayah dan ibuku akan hidup selamanya. Dan bila aku boleh memilih biarlah aku yang lebih dahulu meninggalkan dunia ini. Karena bagiku lebih baik aku yang meninggalkan daripada ditinggalkan. Dan aku yakin aku tak akan sanggup menahan duka itu.Jauh sebelum aku mendaftar menjadi salah satu peserta SM3T, aku telah memberitahu keluargaku terutama ayah dan ibuku bahwa aku akan mengabdi setahun lamanya dan tidak akan pulang sebelum masa pengabdian habis. Awalnya ibuku menentang dan memintaku memikirkan kembali keputusanku. “Bukankah di sini kau juga bisa mengabdi, kenapa harus pergi jauh-jauh dan tidak pulang?”. Aku berusaha meluluhkan hati ibuku. Dan saat itu aku mendapat dukungan penuh dari ayahku. Berdua dengan ayahku, kami berusaha menjelaskan dan membuat ibuku menyetujui niatku. Akhirnya, dengan berat hati ibu mengijinkanku mengikuti program ini.

Dengan ridho ibu dan ayah, akhirnya aku lulus semua tes yang diadakan oleh LPTK UNP. Dan resmilah aku menjadi guru SM3T angkatan keempat. Semenjak awal aku menginginkan daerah penempatan di wilayah timur Indonesia. Semua cerita dan kisah para senior sangat menginspirasiku. Tak jarang aku meneteskan air mata hanya dengan membaca kisah manis mereka bersama mutiara hitam di sana. Akhirnya, aku memilih Maluku Barat Daya sebagai tempat tujuanku. Tak dipungkiri, ibuku sedikit jengkel. “Kenapa tak memilih Aceh saja agar lebih dekat dan bisa pulang”. Aku melihat ayahku, tatapanku mengisyaratkan tanya. Ayahku hanya tersenyum dan menjawab “pergilah, kemanapun kau ingin melangkah, tak mengapa asalkan masih di Indonesia”. Jantungku berdegup kencang dan air mata menggenang. Lelaki pendiam itu selalu membesarkan hatiku. Lihatlah tak sepatah katapun dia melarangku. Ibuku memang sering berbeda pendapat dengan ayah, tetapi kalau ayah sudah berkata begitu ibu pun tak akan lagi menentang. Sebenarnya ibu sangat mematuhi apa yang dikatakan ayah meski kadang di awal terlihat menentang.

Hari itupun tiba, sehari sebelum berangkat ke daerah penempatan aku sempat pulang ke rumah. Ayahku telah menyiapkan koper yang akan kubawa. Tak lupa dengan tali pramuka untuk mengikat koper agar tidak koyak. Ibu juga sudah menjahitkan dua buah kain sarung untuk selimutku. Aku yang sibuk menyiapkan keperluanku tak sempat lagi walau hanya untuk duduk dan mendengarkan nasehat ayah dan ibu. Aku terlelap kelelahan karena memang beberapa hari ini tenagaku disita saat prakondisi. Aku tahu malam itu ibuku tak henti-hentinya memandangiku yang sedang tidur. Gamang anak gadisnya akan merantau sejauh itu. Esok paginya, ibu dan ayahku hanya bisa melihatku mondar-mandir bersiap untuk berangkat ke bandara. Kucium tangan ibuku, kupeluk erat, lama sekali. Kusimpan aroma tubuh dan senyumannya di batok kepalaku. Begitu juga ayahku. Tangannya yang kurus kering, dimana-mana pembuluh darahnya menyembul. Begitu banyak bekas luka di tangan itu. Ayahku hanya tersenyum. Dan dari begitu banyak nasehat yang ingin kudengar darinya, hanya sepatah kata yang keluar “hati-hati di negeri orang, jaga kesehatan”. Ya, hanya itu. Tak lebih. Saat itu tidak ada rasa khawatir dalam hatiku. Aku yakin setahun hanya sebentar. Dan saat aku kembali, aku akan bertemu lagi dengan lelaki pendiam itu. 

Ayah dan ibu sempat mengantarkanku menaiki mobil angkutan pedesaan yang biasa mengantarkan penumpang ke Bukittinggi. Ayah dan ibu tidak mengantarkanku ke bandara. Meskipun begitu inginnya aku diantarkan seperti teman-teman yang lain tetapi aku tidak mau menyusahkan ibu dan ayahku karena perjalanan yang lumayan jauh. Lama kutatap wajah ayah dan ibu dari dalam mobil pun juga mereka, tak lepas mata mereka memandang. Ayah memandangku sendu, tetap dengan senyuman sambil sesekali menghisap rokok. Lelaki itu ringkuh. Begitu kurus. Batuk karena rokok sesekali keluar dari mulutnya. Aku tidak pernah khawatir dengan batuk itu. Yang kutahu ayahku tidak pernah sakit. Ayahku seorang lelaki yang kuat. Kekuatannya itulah yang sekarang menular padaku. Tak pernah terlintas dalam pikiranku kalau itu adalah pertemuan yang akan sangat kuridukan. 

Sesampai di bandara, akupun bertemu dengan teman-teman sepenempatan. Mereka diantar rombongan keluarga. Tangispun sesekali pecah dan kulihat wajah-wajah yang tidak rela melepas anak, adik, atau kakak mereka merantau begitu jauh. Aku sempat heran, kenapa begitu banyak tangis. Bukankah setahun itu hanya senbentar. Hanya itu yang ada dalam otakku. Semangatku ingin segera bertemu siswa-siswa dan keluarga baru membutakan mataku. Semangatku terlalu menggebu-gebu. Membuatku lupa kalau aku akan merasakan sakitnya merindu. Karena selama ini aku tidak pernah merasakannya.

Setelah mengetahui bahwa di tempatku nanti tidak akan ada sinyal, barulah aku panik. Kenyataan bahwa aku harus melakukan perjalanan laut satu hari satu malam untuk mendapatkan sinyal mulai membuatku khawatir. Awalnya aku pikir, mungkin memang sulit sinyal tetapi paling-paling aku harus memanjat pohon atau mendaki bukit agar bisa mendapatkan sinyal. Itu akan sangat menyenangkan. Tapi lihatlah, kapal yang baru akan datang sebulan sekali membuatku gundah. Belum lagi kondisi laut yang tak menentu kadang membuat kapal batal berlayar. Bagaimana aku akan berkomunikasi dengan ayah dan ibuku. 

Sebulan berada di daerah penempatan, bertemu dengan siswa-siswa yang sangat menyenangkan sedikit mengobati rinduku dengan rumah. Budi bahasa, sopan santun, serta senyum yang selalu menyapaku setiap hari membuatku bersemangat. Tatapan mata dan semangat ingin tahu mereka sedikit mengalihkan pikiranku. Setiap hari mereka menghiburku dan mengajakku berpetualang. Menikmati semilirnya angin laut dan deburan ombak. Memasuki hutan untuk sekedar memetik buah jambu monyet dan mengumpulkan kacang mete. Atau mengajakku mencuci di aliran sungai yang jernih. Mendengarkan cerita horor dan tertawa terkekeh-kekeh mendengarkan kisah lucu dan pantun jenaka mereka. Bukan hanya siswa, mama-mama pun tak jarang mengajakku berkeliling kampung untuk sekedar melihat pertandingan voli yang sangat digemari semua warga. Bahkan bapak-bapak pun sering mengajakku untuk memancing di tengah laut meskipun tak seekor ikanpun aku dapatkan. Tertawa bersama dengan bocah-bocah saat mandi bersama di tepi pantai. Kebersamaan dan kasih sayang mereka yang sederhana membuatku tidak terlalu memikirkan masalah sinyal lagi.

Tapi empat bulan berlalu hatiku mulai tak tenang. Entah mengapa pertanyaan saat wawancara kembali terngiang-ngiang di kepalaku. Sudah dua kali aku ke Kupang, kota yang menyediakan sinyal, untuk menelepon. Dan tak sekalipun aku sempat berbincang dengan ayahku. Setiap aku bertanya dimana ayah, ibu selalu bilang ayah ada di ladang atau tidak ada di rumah. Dongkol dan kesal. “Hei ayah, tidakkah kau sedikit rindu dan khawatir padaku?”. Aku tahu ada yang tidak beres. Akhirnya aku memutuskan menghabiskan liburan semester 1 di Ambon agar aku bisa tahu apa yang terjadi. 

Lima hari aku berada di Ambon, tapi kondisinya tetap sama. Aku tetap tidak tahu apa yang terjadi. Perjalanan laut yang memakan waktu lima hari dari pulau penempatanku membuatku hanya bisa menikmati sinyal sebentar saja. Terbatasnya kapal yang menuju pulauku membuatku memutuskan untuk menyambung perjalanan dengan kapal berbeda dan singgah dahulu di pulau Moa, tempat kota kabupaten berada. Untunglah, di sini ada sinyal. Jadi, aku masih bisa berkomunikasi dengan keluargaku. Kebetulan di sana juga ada temanku sesama SM3T sehingga aku tidak perlu khawatir dimana akan menginap.

Takdir itu terkadang aneh dan membingungkan. Niatku agar cepat kembali ke pulauku ternyata tidak bisa terlaksana. Kondisi laut yang sedang tidak bagus membuat kapal-kapal tertahan dan tidak diizinkan berlayar. Rasa cemas karena meniggalkan siswa terlalu lama membuatku bertanya-tanya apa akhir kisahku ini. Mungkin hanya ombak dan semilirnya angin yang tahu bahwa Tuhan sangat menyayangiku dibalik kisahku.

Malam itu, kami mendengar kabar salah satu warga Toun, tempat aku menginap, meninggal dunia karena beberapa hari lalu menjadi korban kebakaran di rumahnya. Tak ambil tempo, kamipun melayat. Ternyata seorang kakek-kakek. Postur tubuh yang ringkih dan kurus itu mengingatkanku pada ayahku. Tiba-tiba air mataku mengalir. Tangisku tak bisa kutahankan. Ada rasa takut dalam hatiku. Dalam hati aku berdoa semoga ayahku baik-baik saja. 

Akhirnya malam itu aku mengetahui apa yang terjadi. Beberapa saat setelah kembali dari melayat, kakak tertuaku meneleponku. Dia mengatakan bahwa ayahku dibawa ke rumah sakit, hanya dinfus karena susah menelan makanan. Memang sudah beberapa bulan ini ayah susah berbicara dan menelan karena ada tumor yang sedang menggerogoti tenggorokannya. Itulah mengapa ayah tidak pernah menelepon. Kalaupun dia ingin menelepon, tidak ada suara yang keluar. Jantungku berdegup kencang dan air mataku mengalir. Oh, ayah betapa malang nasibmu. Terbayang olehku badannya yg semakin kurus terbaring di tempat tidur. 

Keesokan harinya, kakakku yang kedua juga meneleponku. Da memintaku berbicara dengan ayah. Meskipun tak ada suara yang terdengar di ujung telepon, aku tetap berbicara. “ayah jangan lupa minum obat, ayah jangan sakit, ayah yang rajin makannya biar cepat pulang, biar saat ides pulang nanti ayah sudah ada di rumah”. Kusembunyikan isakku. Perih teriris-iris rasanya hatiku. Ingin rasanya aku pulang dan memeluknya. Tak tega harus melihat ayahku merasakan sakit.

Masih teringat jelas dalam benakku. Sore itu, tanggal 21 Januari 2015 dan bayangkan baru semalam aku meneleponnya. Tepat jam lima sore, hpku berbunyi. Dengan cepat kulihat, disana tertulis my family da ya. Jantungku berdegup kencang, hatiku was-was. Aku masih ingat kakakku tidak langsung mengatakan apa-apa. Dia bertanya apa aku sudah makan atau belum, di sana ada temanku atau tidak. Aku sudah mulai curiga. Setelah tahu aku sudah makan dan tidak sendiri dengan pelan dia berkata “ayah sudah tenang, ayah sudah tidak sakit lagi”. Sontak aku berteriak meminta penjelasan, mataku panas dan tak terasa air bening sudah mengalir di pipiku. Aku tahu dan aku mengerti apa maksudnya. Tapi aku tidak mau tahu dan tidak mau mengerti. Hanya isak tangis yang keluar dari mulutku. Kakakku yang tidak tahan mendengarku menangis langsung menutup telepon. Oh Tuhan, ternyata ini ujung kisahku. Baru beberapa hari aku bertanya-tanya kenapa begitu lama datangnya kapal. Ternyata Tuhan memberikanku kesempatan mengetahui berita duka ini. Seandainya saja aku telah sampai di pulau penempatanku yang tidak ada sinyal mungkin aku tidak akan pernah tahu bahwa ayahku telah tiada. Mungkin aku hanya akan mengetahuinya nanti saat sampai di rumah. 

Lemah rasanya semua persendian. Ada banyak tanya dalam kepalaku. Mengapa? Mengapa sekarang saat aku sendiri dan tidak ada keluarga? Mengapa harus ayahku? Mengapa ayahku tak pernah melarangku pergi jika dia tahu waktunya bersamaku takkan lama lagi? Mengapa semua ini terjadi padaku? Dan lihatlah sekarang, betapa malangnya diriku. Aku tidak akan pernah bisa melihat ayahku meski untuk yang terakhir kalinya. Aku tidak akan pernah bisa menjalankan kewajiban terakhirku sebagai seorang anak. dan lihatlah, pertanyaan mengerikan itu akhirnya benar-benar datang padaku. Pantas saja, suaraku bergetar dan mataku panas saat menjawab pertanyaan itu. Pertanyaan yang awalnya tak pernah benar-benar kupikirkan karena begitu besarnya semangatku ingin mengabdi. Dan memang aku sadar, bukan larangan yang membuatku tidak bisa melihat wajah ayahku untuk yang terakhir kalinya tetapi alam lah yang membatasiku. Terkadang aku benci pada lautan yang membuatku tidak bisa pulang.

Saat aku pulang, bayanganku selama ini jadi kenyataan. Aku hanya bisa melihat gundukan tanah yang sudah mengering. Tanah itu tidak lagi merah. Inginku puaskan tangisku. Aku teringat dulu saat aku kecil, ketika aku menangis ayahku akan marah dan berkata “apa yang kau tangiskan, apakah ayahmu meninggal sampai kau menangis seperti itu?”. Oh ayah, bolehkah aku menangis sekarang?

Satu hal yang membesarkan hatiku. Ayah yang meminta keluargaku merahasiakan sakitnya. Dia ingin aku tidak khawatir dan tetap fokus menjalankan pengabdian. Dan bahkan di ujung rasa sakitnya tak pernah sekalipun dia memintaku untuk pulang. Dia bangga melihat anaknya bisa mengabdi dan membantu pendidikan di negeri ini. Dan sampai akhirpun, ayah tetap ingin aku melunasi janjiku untuk mengabdi. Meskipun aku takkan pernah lagi bisa melihat wajahmu ayah, izinkan aku membuatmu bangga dan meringankan bebanmu di sana. Jika orang bilang pengabdian butuh pengorbanan maka itu benar. Dan lihatlah betapa besar yang harus kukorbankan. Semoga semua perjuangan ini tetap berlanjut dan pengorbanan ini tidak menjadi sia-sia.





[1] Guru SM3T angkatan IV daerah penempatan Desa Ilwaki, Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya
Read More

15 Januari 2017

Tanah yang Tak Lagi Merah (Kisah Pengabdian Guru SM3T di Maluku Barat Daya)

OLEH: Desmaiyanti

Maluku Barat Daya adalah salah satu kabupaten di propinsi Maluku dengan sebaran wilayah berada di beberapa pulau. Kondisi ini mengakibatkan setiap aktivitas warga sangat tergantung pada transportasi laut. Akibatnya, kapal adalah satu-satunya penghubung dengan dunia luar. Tak heran jika tibanya kapal di pelabuhan ataupun dermaga pada setiap pulau, merupakan hal yang amat dinanti-nantikan oleh penduduk. 

Kehidupan yang bergantung pada keramahan laut membuat siapa saja terkadang merasa was-was bila ingin bepergian. Cemas ditinggal kapal pun cemas kapal tak jadi datang. Bila musim barat atau musim timur datang, gelombang laut biasanya bisa mencapai ketinggian 6 meter. Hal ini membuat kapal-kapal yang seharusnya berlayar mendapat warning. Akhirnya, hanya bisa menunggu saat gelombang sudah reda, barulah kapal-kapal bisa melanjutkan perjalanannya. 

Tertahannya kapal dan tidak diizinkan berlayar memakan waktu yang tidak bisa dipastikan. Bisa jadi satu hari, satu minggu, bahkan satu bulan. Wajar bila penduduk kesulitan menjanjikan atau merencanakan kegiatan. Yah, mau bagaimana lagi tidak ada yang pasti di negeri itu. Tak bisa dipungkiri kondisi ini terkadang membawa kisah duka bagi siapa saja. Tak terkecuali aku.

Aku ditempatkan di sebuah desa kecil bernama Ilwaki. Berada di tepian paling selatan pulau Wetar dengan pantai dipenuhi batuan berharga mengandung emas. Sungai-sungai kecil dengan airnya yang jernih mengalir membelah daratan menuju tepian pantai. Daratanpun dipenuhi pepohonan kayu putih, pohon koli (bahan dasar sofi, minuman beralkohol khas Maluku), dan pohon kelapa. Lautan yang demikian indah sepanjang mata memandang biru yang tak pernah ada habisnya. Bening dan jernih. Dasar laut bisa dengan mudah dilihat. Tak perlu jauh-jauh menyelam, cukup memakai sampan kecil kita sudah bisa menikmati karang-karang dan ikan-ikan berwarna-warni berenang kesana-kemari. Jika beruntung, setiap habis subuh kita bisa menikmati pemandangan sekumpulan lumba-lumba yang berenang di tengah laut. Dan bukan itu saja, keindahan matahari saat terbit dan tenggelam bisa kita nikmati tanpa ada penghalang. Pun, saat malam, bulan dan bintang bertabur dengan indahnya. Di sana, sepertinya matahari dan bulan terlihat lebih indah dan besar. Keindahan yang selama ini hanya ada di depan layar televisi bisa kita nikmati di sana. 

Indahnya Ilwaki mungkin takkan pernah bisa habis bila diungkap dengan kata-kata. Kekayaan alam dan potensi pariwisata mungkin suatu saat nanti akan tercium publik dan akhirnya bisa membuat daerah ini lebih maju. Negeri ini terlalu indah untuk dibiarkan. Negeri ini sudah terlalu lama ditinggalkan oleh kasih sayang ibu pertiwi. Meskipun demikian rasa cinta tanah air di negeri ini masih tinggi. Bagi mereka NKRI harga mati. 

Kurangnya perhatian dan seolah ditinggalkan terlihat dengan belum adanya sarana komunikasi yang memadai. Belum ada sinyal telekomunikasi mengakibatan negeri ini semakin terisolir dari perkembangan dunia luar. Untuk bertukar kabar dengan sanak saudara, mereka biasa menggunakan Ratelda (radio). Berita baik dan buruk kadang terlambat sampai. Bagaimanalah, Ratelda bukan sarana yang tepat untuk mengabarkan berita dengan cepat. Selain harus sabar berteriak di depan mikrofon, kita juga harus puas hanya bisa menitipkan pesan yang tidak bisa dipastikan sampai atau tidak ke orang yang dituju. Jika mereka sedikit memiliki kelebihan uang, mereka akan menggunakan telepon satelit yang lumayan mahal. Satu menit berbicara harus membayar Rp. 12.000,00. Bila dibandingkan dengan ratelda yang gratis, telepon satelit akan sangat mahal. Makanya, untuk berkomunikasi kebanyakan penduduk lebih memilih pergi ke pulau lain yang sudah ada sinyal, seperti ke Kupang atau pulau Kisar. Dan tak bisa dipungkiri, mereka harus berlayar. 

Sudah hampir empat bulan aku menikmati suasana desa. Keterbatasan komunikasi sedikit banyak menjadi beban terberat bagiku. Sedikit iri dengan tempat lain yang masih bisa berusaha berjalan kaki atau memanjat pohon untuk mendapatkan sinyal. Hal ini membuat kerinduanku pada keluarga semakin membuncah. Entah mengapa semenjak  beberapa minggu ini pikiranku tak lagi fokus. Perasaanku tak enak. Bulan kemaren aku sempat menelepon dari Kupang, bertanya kabar dan mencurahkan sedih senang pada ibu dan kakak-kakakku. Tapi, aku tak pernah sempat berbicara dengan ayahku. Dua hari aku di Kupang dan berulangkali menelepon, tapi tak sekali juga aku bisa berbicara dengannya. Meskipun jika ayah berbicara denganku tak pernah lebih dari dua menit, dan hanya bertanya ‘apakah aku baik-baik saja’ atau ‘hati-hati di negeri orang’, tetapi itu lebih dari cukup untukku. Setiap aku bertanya ayah dimana, ibu dan kakak-kakakku hanya menjawab ayah sedang tidur atau ke ladang. Saat itu aku hanya berbaik sangka saja meski kecewa tidak bisa sedikit bercerita padanya. Paling-paling aku haya kesal dengan ayahku yang sepertinya tidak terlalu peduli dengan anaknya yang entah ada dimana sekarang.

Jika orang bilang pengabdian menuntut pengorbanan maka aku akan menjadi saksi bahwa memang benar itu terjadi. Makanya sejak memulai niat untuk mengabdi seharusnya ego bisa menyelaraskan kekuatannya dengan logika. Dan tak pernah kusangka pengorbanan yang harus diberikan tidaklah kecil bahkan amat besar. Pengorbanan yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. 

Perasaan tidak enak itu memenuhi pikiranku. Makanya, hatiku berkeras untuk menghabiskan libur semester ini di Ambon. Aku harus tahu apa yang terjadi.Berhitung dengan gelombang yang tinggi dan datangnya kapal KM Sabuk 43, yang lumayan nyaman dan menyediakan tempat tidur, masih cukup lama, akhirnya aku memutuskan untuk menaiki kapal barang, kapal Kinei. Kapal ini menuju Seumlaki. Rencana awalku sesampainya nanti di Seumlaki akan aku lanjutkan menaiki kapal Pangrango menuju Ambon. 

Kapal Kinei, kapal ini sebenarnya dikhususkan untuk membawa barang-barang dan tidak menyediakan fasilitas tempat tidur. Hanya ada tenda biru besar untuk atap dan di bawahnya bersusun acaklah manusia, barang dan bahkan hewan ternak. Dimana-mana kardus berusun tinggi. Dan di cela-cela tumpukan itu disusun tikar plastik untuk tempat duduk dan tidur di perjalanan nanti. Ada yang membawa selimut bahkan bantal. Aku yang tidak pernah menaiki kapal ini, tentunya tidak punya persiapan apapun. Tidak ada tikar maupun selimut. Aku hanya membawa ransel yang berisi beberapa pakaian dan laptop. Aku sempat tercengang di dermaga menyaksikan manusia yang berebutan memilih dan mengklaim daerah kekuasaannya. Terkadang perkelahianpun tak bisa dielakkan. Mereka saling berteriak bahkan memaki jika tempat mereka diambil orang lain. Dan urusan bisa panjang. Perjalanan ini cukup jauh butuh waktu 3 hari 3 malam untuk sampai di Saumlaki. Wajar jika semua orang menginginkan tempat yang nyaman untuk menikmati perjalanan. Akan sangat menyakitkan dan menderitanya jika tidak dapat tempat dan hanya bisa duduk di pinggiran kapal. Ditiup udara malam yang amat dingin dan kena panas sinar matahari yang amat terik di siang hari.  Mama-mama yang mengantarkanku sempat menahanku, memberikan pertimbangan bagaimana kalau menunggu kapal penumpang saja. Sempat terpikir untuk mengurungkan niatku berlayar tetapi rasa penasaranku terlalu kuat dan niatku tak bisa ditahan lagi.

Melihatku yang kebingungan, seorang ibu-ibu berjilbab hitam menawarkan untuk berbagi tempat dengannya. Di sana sudah ada tikar yang dikelilingi kardus-kardus sebagai batasan tempat. Akupun melangkah menaiki kapal dan menerima uluran tangan ibu berjilbab hitam ini. “Ibu guru mau pi mana lah?”, ibu ini sambil tersenyum menyapaku. Sontak aku kaget, tahu dari mana ibu ini aku seorang guru. Bukankah badanku yang kecil dengan ransel ini lebih cocok dibilang anak sekolahan hehe. Ternyata begitulah indahnya negeri manise ini. Mereka akan langsung tahu hanya lewat jilbab yang kukenakan. Semua guru kontrak berjilbab, itu yang dikatakan oleh ibu ini. Bibi Zainab, begitulah ia biasa dipanggil. Kebaikan hati dan keramahan budi terpancar dari setiap perhatiannya padaku.
Read More